2. Tanda Tanya

12 2 0
                                    

2. Tanda Tanya

"Inget, ya, pulang nanti kita makan-makan!" Seruan itu langsung disambut meriah oleh analis laboratorium yang lain. Beberapa di antara mereka bahkan menghentikan aktivitas masing-masing guna mendekat ke meja preparasi salah seorang analis yang hari ini sedang berulang tahun.

"Emangnya jadi?" tanya Resti.

"Tau, ih," jawab Dina, berusaha menyangkal. "Gue nggak ada bilang mau makan-makan, tau!"

"Weh, nggak boleh gitu, dong!" bantah Guntur tidak terima. Laki-laki itulah yang paling bersemangat ketika ada rekannya yang berulang tahun. Entah bagaimana bisa Guntur mengingat semua tanggal lahir rekan kerjanya dan akan memberi kode-kode minta traktiran saat mendekati tanggal itu. "Lo udah janji sama kita semua, ya, Mursidin. Jangan pura-pura lupa, deh."

Mendengar namanya diubah, Dina menampilkan raut wajah tidak terima. "Kebiasaan banget ganti-ganti nama orang seenak jidat," kata Dina. "Gue emang dari awal nggak ada janji, ya. Lo aja yang suka ngungkit-ngungkit!"

"Dih?" Guntur mulai sewot. "Tradisi di sini, kan, emang harus ngasih makan kalau nambah tua, itung-itung sedekah."

"Sedekah nggak dipaksa."

Resti hanya terkekeh mendengar perdebatan sengit dua sejoli ini. Hal itu bukanlah sesuatu yang asing lagi bagi telinganya sebab ia sudah mampu menyesuaikan diri sejak hampir dua tahun bergabung di perusahaan ini sebagai analis laboratorium. Jika Guntur dan Dina sudah adu mulut seperti itu, tidak ada yang berani menghentikannya. Ah, bukannya tidak berani. Hanya saja, tiga orang lain yang ada di laboratoium itu--Resti, Dimas, dan Zia--memilih untuk menyimak dan terkadang turut meramaikan.

Sejak awal bergabung di perusahaan ini, Resti memang sudah diberi beberapa gambaran oleh Zia tentang bagaimana lingkungan kerja yang harus Resti hadapi di sini. Zia adalah yang paling dewasa di antara semuanya. Perempuan yang berjarak empat tahun di atasnya itu benar-benar mencerminkan bijaknya sosok kakak bagi Resti. Untuk Dina dan Guntur ... ah, usia mereka sebenarnya dua tahun di atas Resti. Namun, sikapnya tidak mencerminkan bahwa usia keduanya akan menyentuh angka 25 satu tahun ke depan. Sedangkan Dimas, laki-laki yang area kerjanya persis di sebelah Resti, memiliki usia yang sama dengan sang tokoh utama.

"Kamu join nggak nanti?" tanya Zia pada Resti setelah suasana laboratorium kembali tenang.

"Belum tahu, Mbak," jawab Resti. "Soalnya, aku ada janji setelah pulang kerja ini."

"Ih, kenapaaa?" Dina menimbrung dengan dramatis. "Setahun sekali, lo, ini. Meski cuma makan-makan biasa, tapi nggak seru kalau satu orang nggak ikut."

"Mau ke mana emangnya?" Dimas turut bertanya.

Resti berpikir sejenak. Kepalanya berusaha mencari kalimat yang tepat untuk menyembunyikan alasannya tak bisa turut hadir tanpa membohongi teman-temannya. "Aku ... mau belanja keperluan dulu. Tapi kalau selesainya cepet, nanti aku nyusul aja. Nggak apa-apa, kan, Mbak Din?"

Dina mengangguk. "Nanti gue share loc aja, ya, tempatnya. Terus kalau mau nyusul, chat gue dulu. Takutnya malah kita udah bubar, eh lo malah sendirian di sana."

Resti mengangguk. Ia beruntung karena teman-temannya yang lain tidak bertanya lebih lanjut. Sebenarnya, mereka tahu bahwa Resti sudah memiliki kekasih. Mereka juga tahu bahwa nama laki-laki beruntung itu adalah Dana. Resti pun sempat menceritakan bagaimana hubungannya dengan Dana di masa lalu hingga akhirnya memutuskan bersama. Namun, Resti tidak pernah menunjukkan bagaimana rupa Dana kepada teman-temannya. Perempuan itu juga tidak pernah menyebutkan nama lengkap dari kekasihnya. Resti sengaja melakukan itu karena ingin menyembunyikan identitas Dana dan dirinya.

Jangan Rusak LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang