Bab 2 - Kenangan 2,5 Tahun Lalu

9 3 0
                                    


Aku segera melepaskan tangan Juwita yang sebelumnya menarikku ke arah pintu keluar pujasera. Entah apa yang ada di dalam pikiranku. Aku malah berjalan gontai menuju ke arah Bu Neni yang ambruk karena terpanggang api. Namun, lagi-lagilangkahku segera dihentikan oleh Juwita dibantu Mikael. 

"Res! Jangan gila! Ayo buruan keluar dari sini atau kita akan sama-sama kebakar di pujasera ini!" teriak Mikael yang terus menyeret tubuhku menjauhi sumber kobaran api. 

Aku menepis tangan Mikael, "Bu Neniada di sana, Mika!" Telunjukku mengarah ke kobaran api yang semakin membesar. " Kamu enggak denger dia minta tolong, apa? Kasian Bu Neni, Mik!" 

 "Enggak ada waktu lagi, Res! Kita harus keluar sekarang!" teriak Juwita yang kala itu kembali menarik lenganku. Diamulai terbatuk-batuk karena sepertinya menghirup kepulan asap yang semakin pekat. 

Aku memandang kobaran api yang kian lama kian membesar, merembet ke kios-kios yang berada di samping kiri dan kanan kios Bu Neni. Hawa panas terasa menyengat seperti membakar seluruh bagian kulitku. Berat rasanya meninggalkan Bu Neni sendiri. Namun, dadaku pun mulai sesak. Aku sangatkesulitan bernapas. 

"Maafin Nares, ya, Bu," lirihku akhirnya memutuskan untuk pergi meniggalkan ruangan yang mulai habis di lahap si raja merah.Dalam perjalanan keluar, tiba-tiba saja ingatanku seperti diseret ke dua setengah tahun yang lalu, saat pertama kali bertemu dengan Bu Neni. 

2,5 Tahun yang lalu... 

Kala itu aku baru lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru di Politeknik Negeri Bandung. Aku beristirahat dan duduk sendirian di salah satu meja dipujasera tepat di depan sebuah kios penjual masakan. 

Hela napasku sangat berat dan sepertinya menarik perhatian seorang wanita yang duduk di depan kiosbertuliskan Ayam Penyet Bu Neni itu. Seketika aku terkesiap saat wanita bertubuh gempal itu datang menghampiriku. 

"Kok sendirian, Neng?" Wanita itu bertanya sambil menyodorkan segelas air mineral yang masih tersegel rapi lengkap dengan sedotannya. "Mahasiswa baru, ya? Ibu baru liat kayanya," lanjutnya seraya duduk di hadapanku. 

"Ah... Eng... Iya, Bu. Saya mahasiswa baru di sini," jawabku sungkan. 

"Hmm. Udah dapet kosan?" Pertanyaan wanita itu membuatku terkesiap seolah dia tahu apa yang sedang kupikirkan. 

"Eng... Kebetulan saya belum dapet kosan, udah pada penuh semua yang deket kampus. Mana tiga hari lagi udah mulai masuk kuliahnya." Tiba-tiba saja aku memuntahkan semua keluhanku padanya. 

"Memangnya Neng asli mana?"

"Saya dari Jakarta, Bu. Oh, iya—" Aku menjulurkan tanganku ke arahnya, "nama saya Nares Olivia. Panggil aja Nares. Saya Jurusan Teknik Elektro." 

Wanita itu menyambut tanganku yang kemudian segera kucium punggung tangannya sebagai bentuk rasa hormat."Saya Bu Neni yang punya kios ayam penyet itu." Telunjuknya mengarah ke kios di hadapan kami. 

Kami akhirnya larut dalam obrolan yang seru. Ia menceritakan pengalamannya menjadi penjual ayam penyet di pujasera kampus itu. Tidak kurang dari 15 tahun lamanya. Wanita yang masih mengenakan celemek bermotif bunga itu mengenal banyak mahasiswa yang sudah sering membeli menu andalannya. 

Tidak terasa 25 menit berlalu begitu cepat. Di akhir perbincangan, aku terkejut saat Bu Neni menawarkan satu kamar kosong di rumahnya yang berada di daerah Ciwaruga, tidak jauh dari kampus. Kamar itu katanya milik anak semata wayangnya yang sudah lama meninggal. Hingga saat itu Bu Neni hanya tinggal berdua saja dengan suaminya. Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan tawaran Bu Neni karena kupikir itu adalah kesempatan emas yang tidak akan pernah datang dua kali. 

Keesokan harinya aku mencoba mengunjungi rumah Bu Neni usai dia berjualan di kampus. Aku mendapati halaman rumah yang dipenuhi tanaman hijau walaupun hanya ditanam di dalam pot-pot kecil. Aku tidak begitu paham tanaman apa saja itu. Namun, yang pasti rumahnya jadi terlihat sangat asri dan nyaman. Kamar bekas anaknya berada di lantai dua. Hari itu juga aku menempati ruangan tersebut. 

Beberapa bulan berlalu. Bu Neni sesekali mengajakku makan bersama dengan suaminya di ruang makan. Aku merasa benar-benar beruntung saat itu. Bu Neni memperlakukanku seperti anaknya sendiri.

 Oh, ya. Ada kebiasan Bu Neni yang tidak pernah kulupakan. Setiap pagi dia selalu memetik daun-daun kecil berwarna hijau yang di tanam di pot berwarna putih. Saat kutanya itu daun apa, katanya daun mint. Daun-daun itu dia rebus selama kurang lebih lima menit kemudian dicampurkan dengan teh kering lalu disaring. Wanginya menguar di udara sehingga bau itu menempel di tubuh Bu Neni. Jika Bu Neni melintas di hadapanku, sudah bisa dipastikan baunya khas seperti aroma daun mint.

"Daun mint?" gumamku saat kembali tersadar dari ingatan masa laluku. 

"Kenapa dengan daun mint, Res?" Juwita heran melihatku yang tiba-tiba menghentikan langkah setelah beradacukup jauh dari lokasi kebakaran. 

Aku bergegas mengeluarkan ponselku dari dalam tas. Wanita beraroma daun mint? Dilahap amukan raja merah di pujasera Politeknik Negeri Bandung? Tunggu-tunggu— Jempolku bergerak lihai di atas layar ponsel. Itu, kan, isi pesan suara yang aku terima pagi tadi? 

Mataku terbelalak saat menerima kenyataan bahwa pesan suara itu bukan hanya sekedar pesan yang dikirim oleh orang iseng. Namun, pesan suara itu adalah sebuah teka-teki yang harus kupecahkan.*** 

--

WAAA makin seru, nih! Teman-Teman yang penasaran, terus pantengin cerita ini, yak!

Jangan lupa tinggalkan vote biar sayah makin sumanget posting ceritanya. Hatur nuhun (kiss!).

Voice Notes by Ez RumiΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα