Bab 8 - Lelaki Dingin yang Hangat

10 2 0
                                    


 Aku terkesiap dan segera menghentikan tangisanku saat seorang laki-laki dengan gaya rambut yang terkesan berantakan—model short messy hairstyle—menyejajarkan tubuhnya dengan berjongkok di hadapanku kemudian menyodorkan sebuah sapu tangan berwarna hitam ke arahku.


"Jangan nangis di sini," Katanya sembari meraih tanganku. "Sini ikut aku."


Lelaki itu membangunkanku yang sebelumnya ambruk di depan gedung Jurusan Teknik Kimia. Dia yang saat berdiri tinggi bahunya sejajar dengan kepalaku itu lantas menuntunku menuju taman di depan Gedung A kemudian mendudukkanku di sebuah kursi taman. Aku yang masih terisak disodorkan sebotol air mineral olehnya.

"Minum dulu biar rileks," katanya. Lelaki itu sepertinya mencoba untuk menenangkanku.

"Makasih, Zein." Aku menyeka air mataku dengan sapu tangannya kemudian meneguk air yang dia berikan.


Iya, lelaki itu adalah Zein Adam. Dia masih satu kelas denganku. Sikapnya yang cuek baik di kelas maupun di luar membuatnya terlihat sangat dingin. Dia selalu menyendiri. Namun, entah mengapa sikapnya padaku berbeda. Dia selalu ada di saat aku benar-benar terpuruk. Pikiranku seketika melayang, kembali saat semester dua.
***

Kala itu sedang ada mata kuliah Desain Elektronika. Aku benar-benar lupa membuat tugas yang di berikan oleh Prof. Tata. Kegelisahanku sepertinya begitu kentara hingga saat pengumpulan tugas, aku kaget dengan apa yang Zein lakukan.


Dia maju menghadap Prof. Tata dan mengatakan bahwa tugasnya ketinggalan. Dia mendapatkan sanksi tidak boleh mengikuti jam kuliah saat itu. Anehnya, dia bisa dengan santai meninggalkan ruang kelas. 

Ketinggalan katanya? Tugas miliknya sengaja dia simpan di atas mejaku saat maju ke depan tadi. Nama di tugas itu telah dia ganti menjadi namaku. Aku heran dengan sikapnya. Saat kutanyakan alasan mengapa dia memberikan lembar tugas itu padaku, dia hanya menyentil dahiku lalu pergi begitu saja. Dasar laki-laki aneh!
***


Ah, Iya! Juwita! Aku tersentak saat pikiranku kembali di tarik menghadapi kenyataan. Mataku mengarah ke arloji yang melingkar di tangan kananku.

"Gawat, Zein! Waktuku tinggal tiga puluh menit lagi. Aku harus nolongin Juwita!" pekikku seraya bangkit dari tempat duduk berbahan kayu itu.

"Juwita? Kenapa?" Zein tampak bingung.

Tanpa basa basi aku menyodorkan pesan suara misterius itu pada Zein. Aku takpeduli dia percaya atau tidak. Namun, kali itu aku benar-benar berharap Zein bisa membantuku.


"Gadis penyuka merah jambu itu Juwita, Zein!" Aku meremas jaket bomber berwarna hitam yang dikenakannya. "Aku yakin!"

"Hmm... Oke. Kita anggap aja itu beneran Juwita. Siapapun nanti orangnya, kita harus tetep nolongin dia, kan?" 

Respons Zein di luar dugaanku. Kupikir dia akan mempermasalahkan tentang siapa pengirim pesan itu. Namun, tidak satupun pertanyaan yang meresahkan keluar dari mulutnya.

"Terbang tanpa sayap?" Zein memutar bola matanya seperti sedang memikirkan sesuatu. "Simpul collar? Sebentar—" Lelaki berkulit sawo matang itu bergegas membuka layar ponselnya kemudian mengetikkan 'simpul collar' di laman pencarian. "Sesuai dugaanku," katanya manggut-manggut.


"Apa maksudnya, Zein?" Aku penasaran.

"Simpul collar itu istilah lain dari simpul gantung. Simpul yang biasa orang lakukan untuk gantung diri," jelasnya.

Mataku sontak membulat. Tanganku sekonyong-konyong menutup mulutku yang menganga. Pikiranku kembali kalut membayangkan Juwita yang akan dibunuh dengan cara digantung.


"Puncak tertinggi Politeknik Negeri Bandung?" gumam Zein seraya berlari ke ujung taman. Dia melihat ke arah timur kemudian kembali menghampiriku.

"Gedung P2T, Res?" katanya.

Sepertinya dia mencoba memecahkan tekateki tentang puncak tertinggi di kampus.

"Ah, iya. Bisa jadi, Zein!" sambutku.

"Gedung itu, atau—"

"Gedung H Pascasarjana!" Kami kompak menyebutkan gedung lain yang
lebih tinggi.
***


  

Voice Notes by Ez RumiWhere stories live. Discover now