Bab 6 - Emosi Sahabat

1 2 0
                                    


Pagi! Ada yang sudah penasaran dengan kelanjutan Voice Notes?

Silakan baca ceritanya di bawah ini, ya, jangan lupa tinggalkan bintang agar Otor-nya semangat terus menggarap cerita ini. Terima kasih!

*** 

Langit senja tampak berwarna kemerahan. Udara dingin khas Bandung berembus mengusap wajahku yang sendu.

Aku berjalan gontai di sebuah gang sempit menuju ke arah kosanku di Sarijadi. Semua mata tertuju padaku. Jelas saja, mereka melihat seorang wanita dengan rambut sebahu yang amburadul, baju dan tangan masih berlumuran darah karena belum sempat dibersihkan sambil menyeret tas yang seharusnya berada di punggung. Entah apa yang mereka bicarakan di belakang sana.

Aku tiba di depan sebuah pintu berwarna coklat. Kamarku berada di pintu kedua dari lima pintu yang berderet dengan warna serupa. Tanganku merogoh saku celana sebelah kanan, berusaha meraih sebuah kunci dengan gantungan kecil bertuliskan HIMATEL—nama
himpunan program studi yang kupilih.

"Sial!" Aku merutuki kunci itu yang terjatuh kemudian saat mengambilnya dan mencoba kembali memasukkannya ke dalam lubang kunci, lagi-lagi terjatuh.

Bukannya tanpa alasan kunci itu tidak mau masuk, tanganku yang terus gemetar menjadi penyebabnya. 

Maksud hati hanya ingin meraih kembali kunci yang tergeletak di lantai, tetapi tubuhku malah ikut ambruk. Air mataku terus membasahi pipi karena bayangan kematian Pak Marcel yang berkelebat di pikiranku.
***

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur setelah selesai membersihkan badan dan pakaianku. Tanganku meraih ponsel dengan pelindung karet berwarna abu-abu tua yang tadi kulemparkan begitu saja di atas bantal sesaat setelah memasuki kamar.

Jempolku lihai menggulir menu-menu aplikasi yang ada di dalam ponsel. Entah mengapa aku ingin kembali melihat rentetan pesan suara yang dikirim oleh nomor misterius itu.

"Eh? Apa ini?" Aku terperangah saat melihat satu pesan suara misterius baru yang tiba-tiba masuk.

Dengan ragu-ragu, jempol kananku mengarah ke pesan suara itu dan mengetuknya.

"Dua telah gagal. Selamatkan yang ketiga atau nyawamu ikut berakhir dalam permainan ini."

Jantungku bertalu-talu. Rasa sedihku belum sirna, tetapi aku harus menerima kenyataan bahwa ada orang lain lagi yang akan menjadi korban. Terlebih nyawaku pun ikut menjadi taruhannya. 

Aku mencoba menelepon nomor misterius itu, tetapi selalu terputus.

"Siapa?" Aku berteriak sekuat tenaga di ujung ponselku. "Katakan siapa lagi yang harus kuselamatkan? Apa salahku sampai kamu tega membunuh orang-orang yang dekat denganku, hah? Apa salah meraka? Tunjukkan siapa kamu sebenernya! Jangan jadi pecundang yang sembunyi di balik nomor telepon! Sini! Hadapi aku langsung kalau kamu berani!"

Suaraku parau. Tangisku kembali pecah kemudian kulemparkan ponsel itu sekuat tenaga membentur dinding hingga terlihat retakan di layarnya. 

Aku sangat marah. Aku juga kesal dan benci pada pengirim pesan suara itu, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
*** 

Malam berlalu tanpa bisa membuatku terlelap. Aku terus terjaga berharap tidak melewatkan pesan suara terbaru yang akan memberikan satu petunjuk siapa lagi orang yang harus kuselamatkan. Namun, hingga pukul tujuh pagi dan aku tiba di kampus, tidak ada satupun pesan yang kuterima.

Aku bergegas menghampiri Juwita yang sedang asik bersenda gurau dengan Mikael di kursi belakang ruang kelas. Hanya saja sepertinya kedatanganku malah mengganggu mereka, terutama Juwita. Raut wajahnya yang semringah mendadak masam saat aku hadir tepat di hadapannya. 

"Dasar pembawa sial!" ketus Juwita seraya bangkit dari tempat duduknya kemudian menatapku tajam. "Orang-orang yang deket sama kamu—" Telunjuk Juwita mengasak dadaku, "pasti mati, Res!"

Aku terperangah mendengar semua ucapan yang keluar dari mulut Juwita. Perilakunya tiba-tiba berubah bukan seperti Juwita yang kukenal selama tidak kurang dari dua setengah tahun lamanya.

"Ju!" Tanganku berusaha meraih lengan Juwita, tetapi wanita berbaju merah muda itu langsung menangkisnya.

"Jangan pernah deketin aku lagi, Res!" Nada Juwita meninggi. "Aku enggak mau mati konyol gara-gara pesan suara misterius yang kamu terima!"

Juwita pergi meninggalkanku sedangkan Mikael tampak kebingungan. Namun, tak membutuhkan waktu lama akhirnya Mikael pun memutuskan untuk pergi menyusul Juwita dan meninggalkanku sendiri dalam keputusasaan. 

Air mataku jatuh begitu saja di pipi, tetapi tanganku segera menghapusnya. Aku tidak bisa menyanggah semua perkataan Juwita karena aku sangat memahami perasaannya.

Ju, apa kamu tahu? pesan misterius itu masih berlanjut dan itu adalah kesempatan terakhirku. Aku harus meminta bantuan siapa lagi selain kamu, Ju? Kamu satu-satunya sahabatku yang paling bisa aku andalkan.

***  

Voice Notes by Ez RumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang