Bab 5 - Perpisahan yang Menyakitkan

2 3 0
                                    

HALOOO!

Teman-Teman, sebelum baca cerita ini jangan lupa kasih bintang dulu, ya, supaya minggu depan otor-nya semangat untuk update lagi.

Makasih banyak!

***

"Buka pintunya, Pak!" 

Aku terus menggedor pintu yang sepertinya terkunci dari dalam itu.Suara mesin bor yang menderu bercampur dengan suara jeritan seseorang membuat kami sangat panik. 

Mikael mundur beberapa langkah—membuat ancang-ancang—kemudian berlari dan mencoba mendobrak pintu laboratorium itu berulang kali. Namun, hasilnya nihil. 

"Aku panggil bantuan, ya, Res!" Juwita bersiap lari, tetapi dengan cepat aku menyambar tangannya. 

"Ga ada waktu, Ju!" 

Aku mengintip di balik jendela kaca di samping pintu laboratorium. Dugaanku benar, pintu itu hanya dikunci slot. Tidak ada kunci yang menggantung di sana. Pandanganku mengedar ke sekeliling laboratorium itu kemudian segera meraih sebuah plat besi tebal sisa praktikum yang ada di samping laboratorium. 

"Buat apa itu, Res?" Juwita keheranan.Namun, Mikael mengangguk, memberi isyarat setuju. Sepertinya dia mengerti apa yang akan kulakukan. 

Aku segera menghempaskan plat besi itu ke arah kaca jendela di samping pintu. Suara pecahan kaca yang ambruk terdengar menggelegar. Juwita tersentak dengan apa yang kulakukan.Tanganku berusaha meraih kunci slot yang terpasang di bagian atas dan bawah pintu meskipun sisa-sisa pecahan kaca yang masih menempel di daun jendela itu menyayat lengan kiriku. Aku tidak peduli! Jeritan suara di dalam laboratorium itulebih membuatku cemas. 

Sesaat setelah kunci itu terbuka, kami bergegas masuk dan berlari menuju ke arah gudang. Ruangannya berada di belakang ruang praktikum. Ruangan sempit itu hanya dibatasi oleh papan GRC yang di lapisi cat berwarna abu-abu. 

"Pak Marcel!!!" 

Kami kompak menjerit saat melihat tubuh Pak Marcel tengah terduduk lemas sambil merintih kesakitan di lantai. Tangan kanannya masih menggantung karena tertancap mata bor yang masih terus berputar di atas dudukannya. Darah segar tak henti-hentinya mengucur dari pergelangan tangan Pak Marcel hingga membasahi lantai dan seluruh pakaian yang ia kenakan. 

Aku segera merengkuh tubuh Pak Marcel. Mikael mematikan mesin bor kemudian mencabut perlahan-lahan mata bornya dari pergelangan tangan kanan Pak Marcel. Darah segar menciprat ke wajah Mikael saat mata bor itu berhasil terangkat sempurna. 

"Ju! Panggil ambulans, Ju!!!" perintahku pada Juwita yang mematung dengan tatapan kosong. Aku tahu dia pasti tidak percaya dengan apa yang terjadi di hadapannya."Juwita!" pekikku sekali lagi sehingga menyadarkan lamunannya. 

"Ah, i-iya, Res." Juwita segera meraih ponselnya. Dengan nada gemetar dia menghubungi nomor darurat supaya segera mengirim tim medis. 

Aku terus mendekap tubuh Pak Marcel, memanggil-manggil namanya supaya dia tetap sadar. Aku harap bantuan segera datang dan Pak Marcel bisa diselamatkan. 

*** 

Seminggu yang lalu.

"Res, gimana? Udah nemu ide buat tugas akhir, belom?" ledek Pak Marcel yang tiba-tiba menghampiriku saat sama-sama mengantre pesanan surabi di MKU—sebuah kantin yang posisinya berada di arah barat Gedung A. 

"Bapak tiap ketemu aku nanyain tugas akhir mulu, ih." Alisku mengernyit, bibirku manyun. "Udah tau aku bingung belom ada ide sama sekali. Eh tunggu-tunggu—"Aku merapatkan posisi tubuhku ke sisi Pak Marcel, "jangan-jangan Bapak mau ngasih aku ide, nih?" 

 Pak Marcel nyengir melihat sikapku. "Mau bayar berapa kalo dikasih ide, hah?" Kedua alisnya kompak terangkat. 

"Sebungkus Djarum Super cukup kali, ya, Pak." 

Aku menerima tantangan Pak Marcel yang sepertinya itu hanya lelucon saja.Tawa Pak Marcel menggelegak sehingga mencuri perhatian semuamahasiswa lain yang sedang menikmatisantap siangnya. 

"Nares... Nares." Lelaki paruh baya itu menggeleng. "Ya udah. Minggu depan datang langsung ke ruangan Bapak, ya. Kebetulan Bapak ada proyek yang bisa dijadikan tugas akhir." 

"Eh? Serius, Pak? Asik!" Tanpa sadar aku melonjak kegirangan kemudian meraih tangan Pak Marcel dan mencium punggung tangannya. "Makasih banyak, lho, Pak. Nanti beneran aku bawain Djarum Supernya, deh." tawaku renyah. 

Akhirnya kami larut dalam perbincangan yang seru di tengah antrean pemesanan surabi di MKU. Pak Marcel adalah salah satu dosen favorit semua mahasiswa Jurusan Teknik Elektro. Selain cara mengajarnya yang mudah dipahami juga sifatnya yang memang sangat rendah hati. Dia selalu menerima keluhan mahasiswanya dan membantu mencarikan solusi. 

*** 

Aku, Juwita, dan Mikael tertunduk lemas di depan pintu IGD sebuah rumah sakit swasta di Bandung untuk menunggu hasil tindakan dokter. Mulutku terus merapalkan doa-doa untuk keselamatan Pak Marcel, berharap Tuhan mau mendengar dan mengabulkan semuanya. 

 Rencananya siang itu aku akan menemuiPak Marcel untuk membahas ide tentang tugas akhir nanti. Namun, kejadian malang yang menimpanya lagi-lagi membuatku merasa bersalah. 

Taklama berselang pintu IGD itu terbuka, membuat kami sontak berdiri dan menghampiri lelaki berkemeja hitam dengan balutan jas berwarna putih. 

"Gimana keadaan Pak Marcel, Dok?" tanya kami serempak. 

Dokter itu membiarkan kami masuk kemudian menuntun kami ke sebuah ranjang yang di atasnya terbaring seseorang tertutup kain berwarna putih dari ujung kepala hingga kaki. Jantungku berdegup sangat cepat. Kakiku gemetar hebat sehingga tidak mampu lagi menopang berat tubuhku. 

"Siapa itu, Dok?" tanyaku seraya membuka perlahan kain putih yang menutup wajah orang itu. 

Mataku membelalak, kedua tangan menutup mulutku yang menganga. Kepalaku menggeleng tidak percaya. 

"Pak Marcel!!!" 

Aku ambruk kemudiansuara tangisanku memecahkan keheningan ruangan. Itu adalah perpisahan yang menyakitkan untukku. 

"Kami sudah berupaya semaksimal mungkin. Namun, Pak Marcel sudah kehilangan terlalu banyak darah sehingga nyawanya tidak bisa diselamatkan." 

Sayup-sayup suara dokter itu terdengar menjelaskan, tetapi aku tidak bisa lagi mencerna kata-katanya.

***

Makin tegang, khaaan? Ada misteri apa, sih, di "Voice Notes" ini?

Yuk, terus ikuti kelanjutan cerita ini dan jangan lupa kasih bintangnya, yak!

Voice Notes by Ez RumiWhere stories live. Discover now