Bab 9 - Teka-teki Puncak Tertinggi

4 0 0
                                    


 Gedung P2T berada di sisi kanan dari arah pintu gerbang utama kampus Politeknik Negeri Bandung, sedangkan gedung H Pascasarjana berada tepat di belakang Gedung A. Sebenarnya kami masih ragu tentang kata 'puncak tertinggi' yang disampaikan di pesan suara misterius itu. 

Gedung P2T memang hanya tiga lantai saja, tetapi letak gedungnya berada di kontur tanah yang lebih tinggi daripada gedung-gedung yang lain sehingga gedung itu menjadi terlihat lebih tinggi. Sedangkan Gedung H Pascasarjana memiliki jumlah lantai paling banyak—ada lima lantai—di antara gedung-gedung yang ada di kampus.

"Kita berpencar, Res?" Zein memberikan saran dan aku pikir itu adalah saran yang paling tepat.

"Aku ke gedung P2T, kamu ke gedung H Pascasarjana, ya, Res. Tolong kabari aku secepatnya kalo kamu nyampe lebih dulu dan Juwita ada di sana," lanjut Zein.

Aku mengangguk dan kami mulai berlari secepat mungkin karena waktu hanya tinggal 15 menit saja. Kami berpisah saat aku lebih dulu memasuki Gedung H Pascasarjana. Aku menerobos perpustakaan yang ada di lantai satu kemudian terus menapaki satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Tidak ada lift atau eskalator di sana. Jadi mau tidak mau aku harus melewati ketiga lantai selanjutnya dengan terus menapaki anak tangga di setiap lantai.


Iklan dulu ygy >_<

Iklan dulu ygy >_<

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


lanjot!

Napasku mulai tersengal-sengal. Satu lantai lagi hingga aku mencapai puncak tertinggi Gedung itu. Kakiku benar-benar sangat lemas sehingga aku memutuskan untuk berhenti sejenak. Aku mencoba mengatur napasku terlebih dahulu kemudian melanjutkan kembali langkahku menuju lantai terakhir. Aku melihat semua ruangan di lantai itu tertutup rapat.

Suara dering ponsel di saku celanaku nyaris membuat jantungku merosot. Aku bergegas menerima panggilan yang berasal dari Zein.

"Disini enggak ada, Res!" Suara Zein terdengar sangat ngos-ngosan di ujung ponselku. "Aku ke sana sekarang, ya!" Zein kemudian mengakhiri panggilannya tanpa memberiku kesempatan untuk berbicara.

Aku mulai mencari Juwita dengan membuka pintu-pintu ruangan itu satu per satu. Namun, hingga pintu ketiga, tidak satu pun ruangan yang menunjukkan keberadaan sahabatku di sana.

Kecurigaanku mengarah pada pintu terakhir. Namun, ketika aku mencoba membuka pintu tersebut, pintunya terkunci dari dalam.

"Juwita!" teriakku seraya menggedor-gedor pintu itu. "Kamu di dalam, kan? Buka
pintunya, Ju!"

Tidak ada jawaban yang terdengar dari dalam sana meskipun aku terus berteriak memanggil Juwita. Aku mencoba mendobrak pintu itu, tetapi gagal. Lantai lima benar-benar sepi, tidak ada
seorang pun yang berlalu lalang di sana. 

Lagi-lagi aku berusaha membuka pintu itu dengan merusak hendel pintunya menggunakan kursi lipat yang kuambil di ruangan sebelahnya. Namun, tetap saja, meskipun hendel itu sudah rusak, pintunya masih belum terbuka.

Aku terkesiap saat akan kembali mendobrak pintu itu. Telingaku menangkap suara seperti barang yang terjatuh dari dalam ruangan tersebut. Ada seseorang di sana!

"Juwita! Buka pintunya, Ju!" 

Kecurigaanku semakin besar bahwa Juwita memang ada di dalam ruangan itu. Aku terus mendobrak pintu itu hingga bahu kananku terasa sangat sakit. Sepertinya tulang bahuku cedera, tetapi aku benar-benar tidak peduli. Aku ingin menyelamatkan Juwita dan menangkap si pelaku yang mungkin masih ada di dalam ruangan itu.

Saat aku kembali berancang-ancang untuk mendobrak pintu itu, langkahku seketika terhenti saat terdengar suara teriakan seorang lelaki yang baru muncul dari arah tangga.

"Nares!"

Zein datang tepat waktu. Dia sangat berusaha keras untuk datang secepat mungkin menuju gedung tempatku berada—terlihat dari napasnya yang masih ngos-ngosan.

"Zein cepet bantu aku!" Tangan Zein segera kuraih tanpa memberinya waktu untuk beristirahat. "Juwita kayanya ada di dalam sana, Zein!" Telunjukku mengarah ke pintu yang masih tertutup.

Zein mengangguk tanda setuju dengan rencanaku. Kami sama-sama mengambil ancang-ancang kemudian dalam hitungan ketiga berlari ke arah pintu ruangan itu dan mendobraknya bersama-sama pula. Pintu berwarna hitam itu akhirnya bisa terbuka dan seketika membuat kami tercengang saat memasuki ruangan tersebut. 

Juwita yang berbalut kemeja merah muda dengan setelan celana jeans itu lehernya telah terikat tali tambang dan tubuhnya melayang tergantung di langit-langit ruangan.

***

Halooo, Temans! Terima kasih sudah setia mengikuti cerita mystery thriller dari Ez Rumi.

Voice Notes akan kami tayangkan sampai bab 10, bagi Teman-Teman yang penasaran dengan kelanjutan ceritanya, boleh banget, lho, beli PDF-nya. 

Dapatkan PDF gratis dari Teman Menulis tiap pembelian senilai minimal 30K. Terima kasih!

 

Voice Notes by Ez RumiWhere stories live. Discover now