Foolish Love • 035

87 8 1
                                    

Maharani malam itu sedang belajar di kamarnya sampai suara ketukan pada pintu kamarnya menarik perhatiannya. Ia bangkit dan membuka pintu tersebut hanya untuk mendapati adiknya berdiri di sana dengan raut ragu. Maharani mengerutkan keningnya, ini suatu hal yang sangat jarang terjadi karena biasanya yang datang ke kamarnya hanya Ibu mereka atau Mahardika itupun jarang karena biasanya Maharani yang lebih sering ke kamar saudara-saudaranya untuk sebatas mengantarkan segelas susu hangat atau camilan.

“Ngapain?” tanya Maharani. Mahesa bukannya menjawab malah bertanya apakah ia bisa masuk ke kamar kakaknya. Maharani yang mendengar itu tentu saja mengajak adiknya masuk ke dalam. Mahesa berjalan masuk dan duduk di kursi belajar kakaknya membuat Maharani duduk di tepi kasur setelah menutup pintu.

“Kenapa?” tanya Maharani lagi. “Tadi ... sama Arya bahas apa?” tanya Mahesa. Maharani mengerutkan keningnya sejenak sebelum membalas, “enggak banyak. Dia masih enggak mau cerita masalah dia apa, tapi ...”

Mahesa menatap kakaknya seolah menanti apa yang akan dikatakan gadis itu, “... kakak enggak sengaja ngeliat luka lebam gitu. Kakak tanya, dia enggak mau jawab. Kakak jadi mikir apa keluarga dia main tangan sama dia,” lanjut Maharani. Mahesa terdiam. Ini tak seperti dugaannya. Karena ucapan Mika, ia jadi berpikir buruk tentang Arya yang menggoda kakaknya, padahal kakaknya malah mendapati hal tak terduga seperti ini.

“Menurut kamu, dia dipukulin sama orangtuanya karna nilainya atau karna hal lain? Kakak jadi inget, dia pernah sesuatu tentang orangtua yang ngeharapin anaknya mati,” ucap Maharani lagi. Mahesa masih diam. “Dia enggak mau cerita karna enggak mau kita kasihan sama dia.” Maharani kembali melanjutkan.

“Itu enggak bener,” ucap Mahesa. Ia takkan merasa kasihan kepada Arya karena ia tahu bagaimana sikap pemuda itu. Arya tidak suka dikasihani dan selalu membalas ketika diganggu. Bahkan ia ingat ketika Mika membuat Arya kesal padahal tak mengganggunya, pemuda itu selalu membuat masalah atau sebatas beradu mulut dengan Mika sampai Mika merasa kalau Arya tak menyukainya di kelas mereka. Walau memang kenyataannya begitu.

Maharani mengangguk setuju, “tapi dia enggak ngerasa gitu. Setiap kali kita nanya dia ada masalah apa, dia pasti enggak mau cerita ya karna enggak mau kita mandang dia kasihan.”

Mahesa tak menjawab. Ia malah berpikir kalau mungkinkah orangtua Arya tak menyukai presentasi Arya selama ini? Arya itu sangat pintar bahkan nilainya hanya berselisih dua poin dari Mahesa. Jika Mahesa lengah sedikit dalam pelajaran, mungkin Arya sudah mengambil peringkat pertama yang selama setahun ini dipegang oleh Mahesa.

“Sa ...” Mahesa menatap kakaknya saat gadis itu memanggilnya. “... Arya temen yang baik. Gimana dia bersikap sekarang, bisa aja adalah cara dia bertahan dari begimana cara dia dibesarkan.” Maharani mengatakan hal itu dengan nada serius. Inilah Maharani Adiputra yang Mahesa kenal. Di antara ketiga Adiputra itu, Maharani adalah yang paling dewasa dan paling pengertian. Bahkan Mahardika sendiri sering bertanya kepada adik perempuannya itu ketika sedang kebingungan untuk mengambil sebuah keputusan karena memang Maharani sangat sedewasa itu. Gadis itu bisa mengambil keputusan dengan kepala dingin dan takkan bertindak semena-mena, kecuali orang-orang terdekatnya diganggu.

“Kakak suka sama dia?” Maharani menatap adiknya dengan tatapan bingung. Dari ucapannya, bagaimana bisa adiknya itu malah menanyakan hal itu? “Kenapa nanya gitu?” tanya Maharani.

“Kakak enggak pernah sebaik ini sama cowok manapun,” jawab Mahesa. Maharani tersenyum kecil dan membalas, “kalau gitu kamu juga suka sama Mika, ’kan? Kamu juga enggak pernah sebaik itu sama siapapun apalagi cewek. Sampai mau ngajarin Kimia dan Bahasa Inggris pula.”

Mahesa tersedak ludahnya sendiri. Ia berdehem kecil dan menjawab, “enggak suka.” Maharani tersenyum geli, “enggak suka apa emang suka?” tanyanya gemas.

“Kakak sendiri yang bilang kalau banggain orangtua itu lebih penting,” ucap Mahesa. Maharani terdiam sejenak sebelum menjawab, “awalnya begitu.”

Mahesa menatap gadis itu dengan tatapan bertanya. Maharani melanjutkan, “Ayah sama Bunda bener. Kita enggak bisa selalu memenuhi ekspektasi orang-orang. Kalau kita selalu mencoba buat semua orang bangga, kita enggak bakal ada waktu buat ngejar mimpi kita sendiri. Ayah sama Bunda cuma mau kita menjadi anak yang berguna. Kita belajar sekeras ini supaya di masa depan kita bisa ngejalanin hidup kita dengan baik dan ngadepin masalah yang bakal dateng dengan baik. Kita enggak bakal selamanya selalu minta Ayah sama Bunda buat ngambil keputusan untuk kita. Suatu saat, kita harus mulai berani ngambil keputusan dan ngadepin resikonya sendiri.”

“Apa itu artinya sekarang kakak bakal ngejar mimpi kakak sendiri?” tanya Mahesa. Maharani tersenyum kecil dan berkata, “kakak masih nyari apa mimpi itu. Selama ini kakak cuma ngelakuin apa yang harus kakak lakuin supaya Ayah sama Bunda bangga. Kita mungkin bakal seneng kalo mereka bangga dengan pencapaian kita, tapi apa itu yang bener-bener pengen kita lakuin selama ini? Banggain orangtua itu enggak salah, cuma kadang kita juga perlu ngebahagiain diri kita sendiri, Sa. Apa yang bikin kita seneng itu enggak ada salahnya kalo dilakuin sesekali.”

Mahesa terdiam. Maharani yang melihat adiknya terlihat berpikir pun kembali berucap, “untuk pertanyaan kamu tadi, apa kakak suka sama Arya apa enggak, kakak enggak bisa jawab karna kakak sendiri juga enggak tau. Intinya kakak nyaman temenan sama dia dan ngeliat dia sedih, rasanya kakak juga ikutan sedih.”

“Dan kalo itu beneran suka?” tanya Mahesa. “Maka biarin aja begitu. Kalo suka memang bisa apa? Belum tentu dia juga suka sama kakak,” jawab Maharani.

Mahesa menatap kakaknya dengan tatapan tak mengerti, “bukannya itu bakal bikin enggak bahagia?” tanyanya tak mengerti. Maharani menjawab, “apa yang bikin kita bahagia kalo itu enggak bikin orang yang kita suka bahagia, apa itu masih bisa dibilang bahagia?”

Mahesa menggeleng, “enggak.”

“Kalau gitu, anggap aja dengan dia bahagia, kakak bakal bahagia. Lagipula, kita masih muda, Sa. Masih terlalu cepet buat masalah kayak gitu. Ayah sama Bunda aja ketemu waktu mereka udah mulai kerja dan dikejar pertanyaan kapan nikah sama Nenek. Kita masih SMA, jalan kita masih panjang.” Maharani menjawab.

Mahesa terdiam. “Kalo kamu suka sama cewek itu, ya gapapa. Enggak ada salahnya punya pengalaman baru selama kamu enggak aneh-aneh apalagi sampe ngerusak diri,” ucap Maharani.

“Enggak suka,” bantah Mahesa. Entah bagaimana ia merasa malu ketika ada yang mengatakan kalau ia menyukai Mika. Maharani yang mendengar itu malah tertawa, “enggak suka? Yakin? Kalo dia diambil orang lain, kamu bakal rela?” tanyanya menggoda adiknya.

“Bukan urusanku,” balas Mahesa. Maharani tertawa kecil dan menggeleng kagum, “wah ... adek kakak udah gede,” ucapnya.

Mahesa tak membalas. Ia malah memasang wajah datar seolah godaan dari Maharani itu tak mempengaruhinya. Maharani menghentikan tawanya dan berkata, “oke, anggap aja kamu enggak suka. Kalo semisal suka beneran pun, kamu harus tau apa yang bakal kalian hadepin nantinya.”

Mahesa menautkan alisnya dan bertanya, “maksudnya?”

Maharani mengangkat bahunya acuh dan menjawab, “mungkin akademik? Kamu peringkat satu dan dia di bawah seratus, mungkin di bawah lima ratus. Macarin anak paling pinter biasanya bakal banyak omongan yang nyakitin. Itu sih yang sering diceritain anak-anak di kelas kakak kalo mereka abis baca novel online.”

“Siapa yang peduli sama hal yang begitu?” tanya Mahesa tak mengerti. Maharani menjawab, “sebagian orang. Mungkin?”

Mahesa menarik napas panjang dan berkata, “enggak penting banget.” Maharani mengangguk setuju. Ia kemudian mengusir adiknya karena jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Maharani berkata ia akan pergi tidur dan Mahesa pun harus tidur juga karena besok mereka harus sekolah lagi. Mahesa menurut dan kemudian keluar dari kamar kakak perempuannya. Saat ia akan kembali ke kamarnya sendiri, ia tak sengaja berpapasan dengan Mahardika yang sepertinya baru saja dari dapur sambil memegangi segelas air putih.

“Abis dari mana?” tanya Mahardika. Mahesa menunjuk pintu kamar Maharani yang dibalas anggukan paham oleh Mahardika. “Tidur gih, udah malem.” Mahesa mengangguk menyahuti ucapan Mahardika. Kakak-beradik itu pun berpisah untuk kembali ke kamar masing-masing. Mahesa yang besok harus sekolah dan Mahardika yang besok harus mengisi seminar.


°•° to be continued °•°

[END] Foolish Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang