[10] Ruang Kesenian

12K 674 26
                                    

Mala pergi ke lantai tiga ditemani oleh Puspa. Beberapa menit yang lalu ia mendapat pesan dari grup kelas bahwa lomba melukis dimulai pukul sembilan pagi. Kini tinggal sepuluh menit lagi lomba dimulai, tetapi Mala bahkan belum siap apa-apa. Untungnya semua peralatan melukis disediakan oleh sekolah.

Di sepanjang kakinya melangkah, Mala mendapatkan berbagai tatapan sinis dari kakak kelasnya. Terkadang ada salah satu dari dari mereka yang membicarakannya dengan suara keras. Sengaja supaya Mala bisa mendengarnya.

Ada untungnya koridor tak banyak orang, di karenakan sebagian murid masih berada di lapangan untuk menonton pertunjukan. Untuk sebagian lagi berada di kelas yang sudah ditentukan untuk mengikuti lomba.

Dalam hati Mala bersyukur karena ditemani oleh Puspa. Entah bagaimana jadinya jika ia berjalan sendiri ke ruang kesenian. Mungkin kejadiannya akan lebih parah dari waktu ia ke koperasi.

"Oh ini ternyata yang digendong Marva tadi," nyinyir salah seorang siswi dengan pakaian ketat dan sepatu nyentrik beewarna biru langit.

"Kok Marva mau aja ya gendong tuh cewek, padahal mah mukanya biasa aja, masih jauh cantikan gue."

"Itu rambut apa mie? Keriting amat hahaha."

"Kocak abis anjir. Pasti di tasnya bawa roll-an biar rambutnya makin kribo."

"Liat tuh mukanya, songong banget lewat kakak kelss. Gak ada sopan santun!"

Mala berusaha menulikan telinganya dari berbagai ucapan yang menyakitkan. Berkali-kali ia menghela nafas lelah. Puspa yang berada di sebelahnya menggenggam tangan Mala menguatkan. Meskipun kata-kata itu ditujukan untuk Mala, tapi dia ikut sakit hati dan kesal.

Mereka semakin mempercepat langkah kakinya agar segera sampai ke ruang kesenian yang bersebelahan dengan Lab Biologi. Tinggal melewati empat kelas lagi untuk mereka sampai.

Salah seorang siswi menjulurkan kakinya ke depan di mana Mala dan Puspa akan lewat.

Mala yang tak mengetahui ada kaki di depannya pun akhirnya tersandung hingga tubuhnya terjauh membentur lantai dengan posisi tengkurap.

"Awshhh," ringisnya menahan ngilu begitu lutut dan sikunya membentur lantai yang keras.

Puspa melotot lebar, ia tak mengira Mala akan terjatuh. "Astaga, Mal ada yang sakit?" ujarnya panik.

"Sshh lutut gue," rintih Mala seraya menyambut uluran tangan Puspa, membantunya berdiri.

"Hahaha kasian deh lo."

"Uhhh sakit tuh kayaknya."

"Ulululu sana ngadu ke Marva. Kali aja dia dengan senang hati nolong lo, haha."

Mala mengepalkan tangannya, ia menoleh menatap siswi yang menjegal kakinya, hmm difikir-fikir ia seperti pernah melihat wajah itu.

"Apa lo liat-liat!" ujarnya ngegas.

Ah perempuan itu adalah perempuan yang sama yang hendak melabraknya ketika ia melewati kelas 12 IPS menuju ke koperasi.

"Kanapa? Mau marah?" ledek Prisila menyilangkan tangannya di dada.

Mala berusaha tersenyum. "Maaf kak, saya permisi."

Mala dan Puspa segera melangkah pergi, tak ingin semakin membuang waktu mereka yang berharga untuk urusan tak penting.

"Kurang ajar!" 

Mala berlari kecil disusul Puspa di belakangnya. Tujuannya hanya satu, pintu ruang kesenian yang masih terbuka lebar. Apa tandanya lomba belum dimulai? Jika belum, ia akan sangat bersyukur.

You are PerfectWhere stories live. Discover now