[31] Mood

9.5K 499 78
                                    

"Pulang sekarang, ada yang mau Papa bicarakan."

"Gue sibuk." Marva menahan untuk tidak mengumpat. Baru saja akan melajukan motornya, tapi ada saja penghalang. Waktunya terbuang gara-gara pria yang dia panggil Papa itu.

"Papa bilang pulang! Kalau tidak, apartemenmu itu Papa bakar sekarang juga!"

"Terserah, gue sibuk." Marva hendak mematikan sambungan telpon, namun tertahan saat mendengar perkataan Hestrio yang membuat emosinya memuncak.

"Jika tidak, jangan salahkan Papa kalau gadis keriting itu yang menerima akibatnya."

Tutt

"Brengsek!"

Marva membanting ponsel di tangannya membuat benda persegi itu pecah, terburai ke mana-mana menjadi serpihan kecil. Dengan amarah yang menguasai tubuh, Marva mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, menyalip truk-truk besar bermuatan berat tanpa takut. Tangan tanpa pelindung itu mencengkram erat stang membuat urat-urat di sana membentang timbul.

"Mau dijemput Malaikat pencabut nyawa lo hah?!"

Teriakan marah pengendara lain yang motornya tanpa sengaja Marva senggol tak dipedulikan pemuda itu. Yang ada semakin menaikkan kecepatannya lebih tinggi lagi saat melewati tikungan tajam. Adrenalinnya terpacu tanpa takut nyawanya terlepas.

Hanya lima menit waktu yang diperlukan untuk tiba di halaman rumah megah menyerupai bangunan museum. Marva membuang kunci motor tengkoraknya sembarang arah. Langkah tegapnya membawa dirinya masuk menuju pintu besar yang tertutup rapat.

Tanpa ragu remaja itu menendang akses masuk tersebut membuat suara keras yang mengejutkan semua penghuni di dalam.

"Apa-apaan kamu Marva?!" bentak Hestrio menatap putranya nyalang.

Sungguh dia dibuat malu dengan perilaku tak sopan Marva yang menendang pintu seenaknya di hadapan tamu berharganya.

"Bilang sekarang, gue sibuk," tukas Marva tak menggubris perkataan Hestrio.

"Duduk dulu, Nak." Anita memandang Marva lembut, tersirat sesuatu yang lain dalam tatapannya itu.

'Nak?' Mendengarnya saja Marva muak. Dengan wajah tak bersahabat dia memilih duduk di sofa tunggal di sebelah Laras. Hanya itu yang tersisa.

Terlihat wajah istri kedua Hestrio itu tersenyum aneh.

"Maaf untuk kekacauan barusan." Hestrio menatap tiga tamunya tak enak.

"Tidak papa, Pak Rio, santai saja dengan saya," sahut pria tua seumuran kakek Marva disertai senyum tipis di bibir keriputnya.

"Terima kasih, Pak Yusa."

"Nah, karena Marva sudah tiba, kita mulai saja poin penting ini." Hestrio memulai pembicaraan serius. Dia menatap Marva yang duduk di sebelah istrinya.

"Marva, kenalkan gadis cantik di sebelah Pak Yusa, Melody Asanta Putri. Putri bungsu dari Pak Yusa, rekan bisnis Papa."

"Dan yang duduk di sebelah Melody, beliau istri Pak Yusa, Ibu Hilda."

Kedua orang yang disebut namanya itu tersenyum lebar yang begitu menjijikan di mata Marva.

Laki-laki itu mulai bisa meraba apa yang hendak diucapkan ayahnya selanjutnya. Dua orang keluarga bertemu dan memulai perkenalan seperti ini apa lagi jika bukan-

"Kami berniat menjodohkan kamu dan Melody."

Marva tersenyum miring, benar dugaannya. Mana mungkin Pak tua itu menyuruhnya ke rumah busuk ini jika bukan untuk menjerumuskannya ke lubang hitam. Mungkin jika Marva masih polos akan iya-iya saja mengiyakan perintah Hestrio, tetapi kini dia sudah besar. Akan lain ceritanya.

You are PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang