"Kau terlihat sakit."
Prue mendongak ketika Howie meletakkan segelas kopi panas di depannya. "Thanks."
"Apa kau masih bekerja paruh waktu?" tanya Howie.
"Aku menguranginya supaya bisa fokus dengan tugas akhirku."
Prue menolak ketika Howie menawarkan roti lapis kepadanya. Entah mengapa selera makannya sedang berkurang akhir-akhir ini, dan penampilan roti lapis itu membuatnya mual.
Howie adalah senior Prue di kampus, usianya enam tahun lebih tua dari Prue. Dia adalah lulusan universitas ini dari jurusan Musik dan Manajemen Bisnis, dan menjadi asisten dosen selama beberapa tahun terakhir. Howie membantu Prue dalam banyak hal di kampus, dan Prue tidak pernah merasa sungkan padanya. Mungkin karena Howie memang baik pada semua orang sehingga dia menjadi teman bagi semuanya.
"Aku ada kelas sebentar lagi," kata Howie sambil melihat jam di tangannya. "Apa kau masih mau duduk di sini?"
"Tidak, aku juga mau ke perpustakaan," jawab Prue sambil merapikan tasnya.
Prue mengikuti Howie yang asyik bercerita tentang persiapan konser bulan depan. Wajah Prue mengernyit ke arah matahari yang terasa lebih menyengat hari ini, padahal masih musim semi. Detik berikutnya yang Prue ingat, dia menjatuhkan gelas kopi yang dibawanya, lalu semuanya gelap.
Ketika Prue terbangun, rupanya ia sudah berada di klinik kampus bersama Howie. Pria itu mengaku panik begitu melihat Prue tiba-tiba pingsan sehingga melewatkan mata kuliahnya. Meski dokter mengatakan Prue hanya dehidrasi dan kelelahan, ia merasa penyebabnya bukan hanya itu.
Setelah Howie mengantarnya kembali ke flat, Prue berbaring di tempat tidurnya dengan perasaan gelisah. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Prue mengeluarkan buku catatan miliknya yang berisi kalender tamu bulanannya. Dengan hati-hati ia menghitungnya dan ternyata sudah lewat lima belas hari sejak tanggal haidnya seharusnya datang. Siklus bulanannya memang tidak selalu akurat, tetapi paling-paling hanya telat dua hingga tiga hari, tidak sampai dua minggu seperti ini.
Prue mengatakan pada dirinya untuk tidak panik. Ia segera keluar dan pergi ke apotek yang cukup jauh dari area kampus agar ia tidak perlu tanpa sengaja bertemu mahasiswa lain. Prue membeli dua buah alat tes kehamilan dan membawanya pulang. Setelah memastikan teman serumahnya belum kembali, Prue mengurung diri di kamar mandi.
Prue duduk di atas toilet dengan alat tes di kedua tangannya yang gemetar. Matanya terpejam erat-erat, berharap alat itu akan membuktikan bahwa ketakutannya ini sia-sia. Namun, Prue begitu terkejut saat membuka mata sehingga ia menjatuhkan alat itu ketika keduanya menunjukkan dua buah garis berwarna merah.
♤♡◇♧
Prue terlonjak kaget mendengar ketukan—tepatnya, gedoran di pintu kamarnya. Ia memicingkan matanya dari sinar matahari yang masuk melalui sela-sela tirai jendela. Matahari? Pukul berapa sekarang?
"George? Kau tidak pergi sekolah?" Terdengar Ny. Jenkins memanggil dari luar kamar.
Prue mengernyitkan dahi sambil meraih jam di nakas. Rasanya ia baru tidur selama satu jam. Namun, matanya terbelalak ketika melihat jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas. Pantas saja Ny. Jenkins sampai harus naik ke sini karena biasanya mereka sudah turun pukul tujuh untuk sarapan.
"Aku sudah bangun, Ny. Jenkins!" seru Prue sambil mengembalikan jam tadi ke nakas. Ia segera mengguncang-guncang tubuh George yang masih tertidur lelap di sampingnya. "George, ayo bangun! Kita sudah terlambat."
George hanya menggumam dengan mata masih tertutup. Akan membutuhkan waktu setidaknya lima belas menit untuk membangunkan anak itu. Prue menggendong George ke kamar mandi untuk mencuci mukanya dan menyikat giginya. Ia sudah hampir selesai membantu George berpakaian ketika anak itu tiba-tiba mengatakan ingin buang air besar.
YOU ARE READING
Sour Grapes
RomancePrue harus menjadi ibu tunggal di usianya yang baru 22 tahun. Ia meninggalkan keluarganya, teman-temannya, dan masa lalunya, kemudian membawa putra satu-satunya ke Bruton untuk memulai kehidupan baru. Suatu hari Ken, senior di kampus yang pernah mew...