[17] Kedekatan.

301 45 0
                                    

“Setiap jalan yang ditempuh pasti akan menemukan titik temu. Dan setiap ilmu yang diserap, pasti bisa menyingkirkan sisi gelap.”

-

Selesai melaksanakan sholat dzuhur Hadwan kembali ke pondok asrama putra. Namun saat dipertengahan perjalanan ia melirik Zahirah yang tengah kesusahan membawa beberapa barang belanjaannya.

“Teh! Biar saya bantu,” ujar Hadwan memegangi sekantung kresek yang hampir terjatuh.

“Ouh iya ini. Cepet bantuin! Berat tau!” ketus Zahirah terlihat kesal

Dengan sigap Hadwan membawa tiga kantung kresek belanjaan, sedangkan Zahirah hanya satu. “Loh, tumben Teh Zahirah sendiri yang belanja? Nggak ada jadwal, atau gimana?”

Zahirah melirik Hadwan sekilas. “Tadi aku sama Hasna belanja berdua. Eh tuh anak malah ngilang duluan, katanya udah nggak tahan mau buang air besar. Belanjanya juga nggak sampe pasar pojok, cuma di pinggiran jalan aja.”

Hadwan menganggukkan kepalanya. Membelokkan kakinya mengarah dapur khusus asrama putri. “Udah, Kang. Sampe sini aja.”

“Nggak mau sekalian saya antar saja ke dapur? Udah nanggung juga, sebentar lagi sampai,” ucap Hadwan merasa tidak enak jika ia membantu Zahirah setengah-setengah seperti ini.

“Nggak usah, Kang. Sampai sini aja. Makasih ya,” ucap Zahirah tersenyum tipis ke arah Hadwan.

“Na'am, sama-sama Teh. Kalau gitu saya pamit ya, Teh. Assalamualaikum!”

“Wa'alaikumsalam.”

***

Zahirah menaruh barang belanjaannya di dapur khusus para santriwati. Ia celingak-celinguk, mencari Hasna yang tidak terlihat sama sekali di area dapur.

“Kil! Kila!”

“Iya, Teh. Ada apa?”

Kila adalah salah satu santriwati yang  kebagian piket masak hari ini. Ia menatap Zahirah, lantaran di panggil olehnya.

“Aku mau tanya, Hasna kemana ya? Teh Asma juga kemana? Kok pada nggak ada?” tanya Zahirah sudah lelah mencari kedua santriwati itu di seluruh penjuru dapur.

“Teh Hasna tadi ada, lagi ngobrol di luar sama Ummah. Kalau Teh Asma,  tadi aku lihat lagi duduk di taman. Nggak tau kalau sekarang.”

Zahirah menghela napas panjang. “Hmm oke, deh. Makasih ya Kila. Aku keluar dulu. Oh iya, belanjaannya aku taruh di meja. Cek aja, kalau ada yang kurang, bilang ya.”

“Na'am Teh. Afwan sudah belanja siang-siang gini,” ucap Kila tidak enak hati.

Zahirah membalasnya dengan senyuman tipis. “Ya nggak papa dong. 'kan itu udah kewajiban sebagai jadwal piket aku yang harus belanja. Dan lagi, aku nggak mau belanja sore-sore. Takut kemagriban di jalan.”

“Syukron, Teh.”

Zahirah menganggukkan kepalanya. “Ya udah, aku keluar dulu.”

***

Zahirah tersenyum kala melihat Asma yang kini duduk di tepi taman belakang pondok. Menikmati semilir angin yang menerpa tubuhnya. Dengan buku tulisan di tangannya, ia kembali menulis tanpa mengetahui Zahirah tengah mendekati dirinya dengan langkah kaki mengendap-endap.

“Duar!”

“Astaghfirullah! Zahirah!” kaget Asma mengelus-ngelus dadanya yang terasa naik turun.

Zahirah tertawa terbahak-bahak. “Ahahaha ... Teh Asma lucu banget, deh!”

Asma menghela napas panjang. “Ya ampun, Zah! Kamu ngagetin Teteh aja. Gimana kalau Teteh jantungan?”

Zahirah menyengir tanpa dosa. “Ya maaf. Lagian Teteh fokus nulis, sih. 'kan aku jadi greget mau jahilin Teteh.”

Asma mendengus kesal. “Kamu ini. Zah! Kalau bukan Adek, udah aku buang kamu ke laut.”

“Ihh Teteh jahat banget,” ucap Zahirah mengerucutkan bibirnya kesal.

Asma memutar bola matanya malas. “Kamu sih. Awas ya, kalau sampai di ulangi lagi. Teteh kasih kamu hukuman mau?”

Zahirah menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak mau! Janji deh nggak gitu lagi.”

Asma menghela napas panjang. “Kamu udah janji. Awas kalau ingkar! Teteh mau ke madrasah dulu, mau ngambil kitab jurumiah. Kamu mau ikut?”

“Nggak ah. Lagi mau ngadem aja, disini.”

“Hmm ya udah. Teteh pergi dulu.”

“Oke!” seru Zahirah duduk di tepi kursi taman.

Asma menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu berbalik, menuju madrasah yang tidak jauh jaraknya dari arah taman.

Zahirah bersenandung kecil, sampai ia menoleh ke arah samping. “Loh, buku Teh Asma.”

Buku tulis yang tadi di genggaman Asma tertinggal di atas kursi duduknya. Tepatnya di sebelah Zahirah yang kini menyandarkan kepalanya di bawah pohon, dekat ayunan.

Zahirah yang notabenenya anak jahil pun membuka buku tersebut tanpa ada izin dari sang pemiliknya.

“Wih, gaya juga Teh Asma. Suka bikin puisi-puisi cinta kayak gini hihi,” gumam Zahirah saat melihat gambar love di tengah-tengah tulisan puisi yang bertulisan miring.

Dengan santainya Zahirah membuka lembaran demi lembaran buku itu, sampai tidak sadar ia membacanya dalam hati.

Jika aku mencintaimu dalam diam, apa kamu akan membalasnya dengan cara yang sama?

Aku pernah bermimpi kita berdampingan di atas pelaminan. Bercanda gurau layaknya keluarga yang memiliki kesempurnaan yang mendalam.

Aku mengagumimu, ikhwanku.

Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Tapi aku takut, malu dan khawatir kamu tidak akan bisa membalas perasaanku ini.

Aku mencintaimu lauhul mahfudzku...

Hadwan Arkam Haryakan.

Deg!

Zahirah melotot dengan bibir sedikit terbuka. Ia membolak-balikkan buku itu tanpa henti, hingga sampai di tengah-tengah lembaran buku. Ada nama Hadwan yang dikelilingi emoticon love di pinggiran coretan hitamnya.

Teh Asma, suka sama Hadwan? Sejak kapan?

****

Kebuttt nulis walau yang baca pada ngabrutt😭😖

Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang