Sebenarnya Aarazka sudah sadar beberapa jam sebelumnya, bahkan ia melihat sendiri dari jendela kamarnya dimana Camellia yang sedang mengantar Aldric. Pria itu diam saja dengan pandangan lurus ke luar, ingin sekali ia segera berlari dan memeluk tubuh istrinya. Ia sangat merindukan gadis itu, tetapi perjanjiannya beberapa hari yang lalu membuat ia harus menahan diri.
Tepat sekali, Aarazka sudah siuman jauh-jauh hari tetapi yang melihatnya sadar untuk pertama kalinya adalah Aldric. Kala itu Aldric masuk ke dalam kamar untuk menemui Camellia, tetapi bukan Camellia yang ia dapat melainkan Aarazka yang sedang terduduk lemas di atas tempat tidur.
Saat itu, Aarazka menoleh pula pada Aldric yang masuk begitu saja. Saat itu, wajah Aarazka masih sangat pucat dengan satu tarikan napas yang berat. Aldric tidak terkejut, mimik wajahnya biasa saja dan mulai berjalan mendekat pada Aarazka.
"Anda sudah siuman ternyata, Yang Mulia. Saya sedikit tidak menyukainya.."
Aarazka menautkan alisnya kesal, apa-apaan maksud perkataannya itu?
"Bolehkah saya membuat perjanjian? Hanya sekali ini saja, dan setelahnya saya akan pergi jauh sejauh-jauhnya dari sisi Camellia. Saya tidak akan pernah muncul kembali di hadapan Camellia, hanya satu kali ini dan setelahnya Anda tak akan pernah melihat saya lagi." Ujar Aldric dengan sedikit nada frustasi tetapi juga terdengar serius, bersungguh-sungguh akan ucapannya.
Aarazka tidak bergeming, masih tetap di posisinya akan tetapi tatapan lelaki itu seperti kesal menatap Aldric.
"Perjanjian apa?" Akhirnya Aarazka bertanya pula.
"Biarkan beberapa hari ini saya bersama Camellia, dan jangan tunjukkan padanya bahwa Anda telah siuman."
"Menurutmu aku akan menyetujuinya?"
"Berarti untuk seterusnya saya akan selalu berada di dekat Camellia, bahkan saat ini saya bisa melukai Anda Yang Mulia. Tubuh Anda sangat lemah, sekali terkena pukulan Anda akan langsung mati." Ancam Aldric dengan suara datar.
Aarazka berdecih, merasa jijik atas ancaman itu. Tetapi jika dipikirkan kembali, menunggu beberapa hari demi kepergian Aldric untuk selamanya sepertinya tidak terlalu buruk. Walau masih saja ia merasa kesal ketika harus menyetujui perjanjian itu.
Membiarkan ia tetap dalam posisi belum sadar padahal nyatanya telah sadar, dan membiarkan pula Aldric mendekati Camellia yang jelas-jelas adalah istrinya.
Sial, untuk sesaat Aarazka tidak dapat mengambil keputusan sepihak lagi. Kondisinya sedikit tidak memungkinkan jadi hal yang paling menguntungkan yang bisa ia lakukan saat ini adalah dengan menyetujui perkataan Aldric.
"Butuh berapa hari?"
"Tak kurang dari satu minggu, saya hanya ingin memberi ucapan selamat tinggal yang bermakna untuk Camellia. Lalu setelah setelahnya, saya akan pergi dan takkan pernah memperlihatkan diri lagi di hadapan Anda maupun Camellia."
Aarazka mendengus kesal, "empat hari saja." Ucapnya dengan nada tak suka.
Aldric terdiam sejenak dan kemudian mengangguk, sepertinya waktu empat hari lumayan cukup untuk meminta persetujuan Camellia tentang rencana kepergiannya nanti.
Seperti itulah ceritanya hingga setelah empat hari berlalu dan Aldric benar-benar membuktikan perkataannya dengan pergi berkelana meninggalkan Karmel. Akhirnya Aarazka tidak perlu lagi berpura-pura sakit dan terbaring lemah di tempat tidur, bahkan kesehatannya telah benar-benar membaik dan sehat setelah empat hari mengambil tenaga.
Tepat ketika ia melihat Camellia yang berbalik untuk masuk ke istana setelah mengantar Aldric, Aarazka segera duduk di seberang ranjang untuk memberi kejutan pada gadis yang sudah sangat ia rindukan selama empat hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Became A Empress [SEGERA TERBIT]
Teen FictionCamellia terjebak dalam dunia asing yang membingungkan, tepat saat membuka mata hal yang tak terduga menghampirinya. Katanya ia adalah seorang permaisuri? Hei, ia hanyalah seolah mahasiswi biasa dengan kehidupan datar tak bergairah. Bagaimana bisa...