27. Prioritas

47 5 1
                                    

Leo sengaja melepaskan jaket kulitnya dan hanya menyisakan kaos oblong berlengan pendek itu agar bisa diberikan kepada Clarissa. Ia juga memasangkannya di tubuh perempuan tersebut untuk menghangatkannya karena sang empu hanya mengenakan kaos pendek dengan celana yang panjangnya hanya sedikit di atas lutut. Di tengah malam dan hujan deras seperti ini tentulah membuatnya menggigil kedinginan dengan pakaian seperti itu.

"Lain kali jangan berpakaian pendek seperti ini. Apalagi di malam hari," ujar Leo setelah selesai membantunya untuk memasangkan jaket tersebut.

Clarissa tak menjawab karena ia sendiri baru saja bisa menetralkan rasa takut yang baru saja dialaminya. Bersyukur jika suara petir itu tak berlangsung lama hingga membuatnya sedikit lega meskipun masih turun hujan deras malam ini.

"Ayo masuk, hujannya makin deras," ajak Leo kemudian karena Clarissa tak bergeming sama sekali dari tempatnya.

"Kenapa?"

"Aku mau pulang," akunya.

"Ya sudah, kalau begitu ajak Tante Sania juga. Biar saya antarkan pulang sekarang."

Clarissa mengangguk cepat karena Leo menyetujui permintaannya. Mereka berdua pun kembali masuk ke dalam ruangan William untuk mengajak Sania agar bisa bergegas pulang ke rumah. Dan kedatangan mereka dari luar secara bersamaan itu mengundang perhatian orang-orang di dalam ruangan itu, termasuk William sendiri. Ia dibuat salah fokus ketika tahu Clarissa mengenakan jaket kulit milik kakaknya itu.

Seakan tak lepas dari gerak-gerik Clarissa, Leo yang mengetahui hal itu sontak berusaha menghalanginya dengan sengaja berdiri di depannya untuk menutupi 'perempuannya'.

"Kalian dari mana aja? Kenapa lama banget?" tanya Bagas yang ditujukan untuk keduanya.

"Habis dari toilet terus ketemu di depan, sekalian jalan-jalan sebentar," jawab Leo mewakili yang tentunya harus beralibi.

"Ma, ayo pulang," sedangkan Clarissa sendiri sedang berusaha mengajak ibunya untuk segera pulang dari sana dengan setengah berbisik.

Sejenak Sania melihat ke arah jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 9 malam, memang sudah seharusnya jika mereka bisa segera kembali karena sudah terlalu malam untuk waktu membesuk pasien seperti ini.

Akhirnya tanpa bantahan sama sekali Sania setuju dan mereka langsung bersiap, berpamitan pada orang tua Leo sebelum meninggalkan ruangan William.

"Kamu jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya, Le," peringat Bagas pada putra sulungnya tersebut.

"Iya."

Saat Clarissa sudah menyalami orang tua Leo, kini berganti datang menghampiri William yang tampak seperti menunggu kedatangannya.

"Cepet sembuh ya, aku pulang dulu," ujar Clarissa sembari menyalami tangan William dengan hati-hati.

Sang empu mengangguk dan tersenyum tipis padanya dengan bersenang hati menjabat tangannya pula.

"Terima kasih karena sering datang menjengukku."

Leo yang awalnya membiarkan mereka saling bersalaman pun akhirnya sebal sendiri karena jabatan itu terlalu lama untuknya.

"Katanya tangan lo sakit sampai gak bisa makan sendiri? Jadi nggak usah lama-lama salamannya," pungkas Leo dengan sengaja meleraikan paksa tangan keduanya.

Clarissa yang tak ingin ambil pusing dengan sikap posesif Leo pun hanya terdiam dan melenggang pergi di antara mereka.

"Jadi dia yang dijodohin papa sama lo, Kak?"

"Emang kenapa?"

"Ya nggak apa-apa sih, pinter juga papa milihnya. Kayaknya juga masih seumuran sama gue-"

"Nggak usah macem-macem lo. Jaga mata dan mulut lo dari Clarissa, sebelum gue yang turun tangan sendiri nanti."

William berdecak dan menatap malas pada kakaknya itu.

"Aelah, orang cuman ngomong doang malah diancem."

Leo sudah tak mempedulikan dan pergi meninggalkan ruangan untuk menyusul Clarissa juga Sania yang sudah lebih dulu keluar dari sana.

Lebatnya hujan juga masih mengguyur basah area rumah sakit, di antara 2 perempuan berbeda generasi dengan 1 pria yang bersamanya itu pergi beriringan menuju ke tempat parkir. Beruntung jika area parkir tak basah kuyup karena tempatnya yang tertutup di sebuah basement bertingkat.

"Jaketnya nanti ketinggalan lagi."

"Jangan dilepas, pakai saja dulu. Udaranya dingin, nanti kamu masuk angin karena pakaianmu yang serba kekurangan bahan itu," ujar Leo melarang Clarissa yang berniat melepaskan jaketnya saat hendak masuk mobil.

"Ck, ini namanya style. Bukan kurang bahan," bantah sang empu yang tiba-tiba tak terima.

Sedangkan Leo justru tersenyum tipis mengetahui hal itu, karena jika sudah bisa membantah dan selalu melawan ucapannya itu berarti kondisi Clarissa memang sudah baik-baik saja. Ia sangat lega akan hal itu.

"Jangan bantah terus, cepat masuk. Mama mu sudah menunggu."

Semenjak peristiwa perjodohan mereka yang sudah terjadi 1 minggu lalu membuat keduanya jadi sering bertemu dan berbincang. Mereka berdua juga mulai memahami dan saling mengetahui pribadi masing-masing  meski Leo sendiri yang lebih dominan.

Jika diingat kembali, setelah hari ini berganti maka sudah waktunya bagi mereka untuk memulai pembicaraan serius agar bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan. Seperti yang sudah disepakati oleh kedua pihak keluarga, termasuk Leo juga Clarissa meskipun terpaksa saat itu.

***

Malam ini menjadi saksi bagaimana interaksi di antara Leo dengan Clarissa terjadi secara intensif dari biasanya. Tentunya semua itu juga berkat dari Sania yang selalu mendukung pria itu agar bisa mengambil perhatian putrinya yang terkadang gemar acuh tak acuh sekali.

Dan 1 hal baru lagi yang diketahui oleh Clarissa mengenai Leo tentang masa lalunya. Walaupun ia sendiri belum mengungkapkan bagaimana masa lalu dan juga trauma yang dimilikinya itu.

"Makasih udah anter jemput kami malam ini. Ini juga aku balikin."

Leo mengambil kembali jaket kulit miliknya dari tangan Clarissa. Sania sengaja untuk masuk terlebih dahulu dan memberikan ruang bagi mereka berdua untuk mengobrol di teras rumah walau sebentar.

"Sama-sama. Saya juga terima kasih karena sudah sering menjenguk Liam."

"Terus kenapa masih di sini?"

Secara langsung Clarissa mengatakannya untuk mengusir Leo dari rumah saat ini. Ia hanya ingin segera pergi ke kamar dan melepaskan segala penatnya dari kelelahan aktivitasnya hari ini.

"Saya masih menunggu teh hangat saya, tante Sania sendiri yang menitah saya untuk menunggu dulu di sini," sanggah Leo.

Meskipun hal itu benar adanya, ia juga menjadikannya sebuah alasan agar bisa mengajaknya berbicara sejenak hanya empat mata di teras rumah Salman tersebut. Pasalnya ia belum sempat mengatakan kalimatnya tadi ketika di perjalanan karena masih ada Sania juga di dalam mobil, ia hanya segan.

"Ya udah, kalau gitu tunggu aja tehnya. Aku mau masuk sekarang."

"Saya mau bicara berdua sama kamu sebentar boleh?"

"Bicara soal apalagi?"

"Soal Hani-"

"Aku nggak mau bahas dia sekarang."

Belum sempat selesai, Clarissa sudah memotong kalimatnya.

"Baiklah, saya hanya titip pesan sama kamu kalau mungkin kamu tidak sengaja ataupun sengaja bertemu dengan dia lagi, tolong jangan pernah percaya apa yang diucapkannya. Terlebih lagi jika itu mengenai saya."

"Kenapa harus?"

"Karena saya tidak ingin kamu terpengaruh sama dia lagi, Sa."

"Peduli banget mau aku terpengaruh atau nggak."

"Saya peduli karena kamu prioritas saya saat ini."

Terpaksa NikahWhere stories live. Discover now