Bab 12 : The Flames of Fury

4 1 1
                                    

Bab 12 : The Flames of Fury

Keisha, dalam gaun pengantin putih yang mempesona dan mahkota berlian, berjalan menuju ibunya. Dengan suara yang penuh harap, ia bertanya, “Ibu, bolehkah aku menjadi pengantin baru?”

Gilbert, berdiri di balik pilar batu besar, merasakan cemburu menggigit jiwanya. Ia menatap Keisha, berbisik pada dirinya sendiri, “Untuk kebahagiaan Keisha, aku harus rela.”

Charlotte, dengan senyum sinis, merenung dalam hati, “Tak lama lagi, Keisha, sainganku, akan hancur.”

Pernikahan Keisha dan Dominic berlangsung megah di istana. Lampu-lampu ajaib berpendar, menciptakan suasana yang megah.

Raja Abhiseva, dalam jubah kerajaannya, tampak senang melihat Keisha dan Dominic. “Keisha tampak cantik malam ini,” puji Ratu Shourina, sambil memandangi Keisha dengan kekaguman.

Meski sakit, ibu Keisha hadir di pernikahan putrinya. Dia duduk di kursi kayu, menatap Keisha dengan mata penuh kasih dan kebahagiaan. “Aku bangga padamu, Keisha,” bisiknya.

Raja Abhiseva bangkit dari takhtanya, menatap pasangan pengantin baru dengan mata penuh kebanggaan. “Dominic, putraku, dan Keisha, putriku, semoga kalian berbahagia selamanya,” ucapnya dengan suara yang penuh kehangatan.

Dominic, dengan tatapan penuh cinta, memandang Keisha dan berkata, “Keisha, aku berjanji akan melindungi dan mencintaimu selamanya.”

Keisha, dengan mata berbinar-binar, membalas, “Aku juga, Dominic. Aku akan selalu berada di sisimu.”

Sementara itu, Charlotte meremas napkin di tangannya, menatap Keisha dengan tatapan penuh iri. “Waktunya hampir tiba, Keisha,” bisiknya pada dirinya sendiri.

Gilbert, yang berdiri di sudut ruangan, merasa hatinya teriris. Namun, dia tahu ini adalah pilihan terbaik untuknya dan dia harus melakukan itu. “Selamat, Keisha,” bisiknya dalam hati.

Sementara pesta berlangsung, ibu Keisha berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Dia meraih tangan Keisha, menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. “Keisha, aku bangga padamu,” bisiknya dengan suara serak.

Keisha merasakan air mata menggenang di matanya. “Terima kasih, Ibu. Aku mencintaimu,” jawabnya, meremas tangan ibunya dengan lembut.

Di sisi lain ruangan, Charlotte merencanakan langkah berikutnya. “Waktunya hampir tiba,” bisiknya pada dirinya sendiri, senyum licik terpampang di wajahnya.

Gilbert, yang masih berdiri di balik pilar batu besar, merasa hatinya teriris. Dia menatap Keisha, berbisik pada dirinya sendiri, “Selamat, Keisha. Aku harap kamu bahagia.”

Pesta berlangsung meriah, dengan tawa dan suara gembira mengisi udara. Semua orang tampak bahagia, kecuali Charlotte dan Gilbert, yang hatinya dipenuhi oleh rasa iri dan cemburu.

Gilbert, yang berdiri di balik pilar batu besar, merasa hatinya teriris. Melihat Keisha dan Dominic bersama, rasa cemburunya membuncah. “Aku harus melakukannya. Aku harus mewujudkan rencana ini,” desisnya dalam hati.

The Secret Of LiontinsWhere stories live. Discover now