~ satu: ada kamu ~

46 8 0
                                    

Waktu memang sudah berlalu,
tetapi setiap kisah akan terjaga selalu.

🍂🍂🍂

Bel tanda istirahat berbunyi dengan nyaring. Seketika gerombolan anak berlari ke luar kelas dan menyebar ke seantero sekolah. Dari kelas satu sampai kelas enam jumlah siswa keseluruhan sudah menyentuh angka seribu.

"Kalau mau berlari di lapangan saja, hati-hati menabrak temanmu, Nak!" ujar lelaki dengan name tag berlatar hitam bertulis Raden Prameswara.

Jam istirahat memang jam paling rawan, oleh karena jajaran guru dari SD Al-Karomah ini membentuk tim untuk berkeliling. Tidak bosan mereka mengingatkan beberapa peraturan yang sudah disepakati bersama.

"Adam, berlarinya jam olahraga. Syifa, minta tolong kerudung temannya jangan dibuat mainan." Lelaki berbaju batik itu kembali bersuara.

Setelah dirasa aman, ia duduk di bangku yang ada di tengah taman. Naungan pepohonan yang rindah disertai angin sejuk membuatnya merasa lebih tenang. Ini adalah mimpinya, bersenda gurau dengan anak-anak dan menikmati siang harinya dengan damai.

"Bapak, boleh duduk di sini?" tanya seorang siswa berkerudung dengan bed yang menunjukkan bahwa ia siswa kelas dua.

"Tentu saja boleh."

"Bapak, Bapak, kenapa namanya Ra-den Pra-mes-wa-ra, tapi dipanggilnya Pak Aden, bukan Pak Raden?"

"Karena Bapak nggak punya kumis kayak Pak Raden."

Anak perempuan itu mengangguk lalu menyodorkan isi bekal yang dibawa kepada lelaki dengan potongan rambut pendek dan berkacamata itu.

"Terima kasih, tapi Bapak bawa bekal sendiri."

"Pak Aden!" panggil seorang siswa dengan sangat keras sampai membuat si pemilik nama itu menoleh. "Anak baru bertengkar sama Haidan, Pak."

Lelaki yang disapa Aden itu langsung berlari menyusul anak yang memanggilnya tadi. Rupanya kejadian itu ada di belakang halaman sekolah. Aden langsung bergegas dan menerobos keramaian.

Beberapa siswa masih sibuk memberikan semangat pada sosok yang lebih tinggi, sementara anak lelaki yang lebih kecil tengah meringkuk dan melindungi wajahnya dari amukan temannya itu.

Tanpa banyak bicara, Aden memegang tinju dari anak bernama Haidan yang lebih besar dan menyingkirkannya dari tubuh yang sedang meringkuk.

"Haidan, berhenti!"

"Dia duluan yang mukul, Pak, nih lihat," ujar bocah gembul sambil menunjuk pipinya yang sedikit berwarna keunguan.

Aden hanya melihat sebentar lalu beralih pada anak kecil yang baru kali ini ia lihat. Sosok baru itu masih meringkuk sambil menangis dan terus menutupi wajahnya. Bahkan Aden melihat ada bercak darah di telapak tangan itu.

Lelaki yang sudah menjadi guru sejak semester empat di bangku kuliah itu membubarkan kerumunan terlebih dahulu. Kemudian anak yang sedang meringkuk itu ia bantu untuk bangkit. Seketika Aden terkejut karena pelipisnya baret dan berdarah.

"Kalian ikut Bapak," ujar Aden sambil menggandeng kedua bocah yang bermasalah itu.

Beginilah yang selalu ia lakukan, tidak jarang anak-anak berkelahi karena saling ejek. Awalnya bercanda, kemudian seriusm dan terjadilah hal seperti tadi. Kedua anak itu dibawa ke UKS untuk mendapat pengobatan terlebih dahulu.

Sosok yang lebih besar ditangani oleh petugas UKS dan diberi salep untuk luka lebam di pipinya. Sementara itu, yang lebih kecil ia bawa ke toilet untuk membersihkan sebagian badannya yang kotor karena tanah.

Bukan Cerita Cinta Bandung BondowosoWhere stories live. Discover now