~ empat: ternyata begitu ~

20 6 0
                                    

Semua tahu tentangmu,  tetapi tidak denganku.

🍂🍂🍂

Sudah hampir tiga mingguan Aden tidak pulang, mungkin ini waktu yang lebih tepat untuk ia pulang. Ia memilih untuk mengendarai motor menuju Kota Bandung. Jarak tempuh yang lumayan membuatnya berhenti beberapa kali.

Setelah beberapa jam, ia memacu motornya untuk masuk sebuah pekarangan rumah dengan model kuno yang memiliki banyak jendela. Baru saja motornya terparkir, dua anak kecil berlari ke arahnya. Mereka adalah sepasang keponakan kembar laki-laki dan perempuan.

"Om Aden pulang!" teriak keduanya dan langsung memeluk kaki jenjang milik Aden.

Si bungsu itu langsung menggendong keduanya sekaligus. Ia bahkan tidak sempat untuk membongkar ransel dan membuka helm yang ia kenakan.

"Apa kabar? Tiga minggu nggak ketemu tinggi Ayra hampir sama dengan Aydan."

"Aydan masih lebih tinggi, Om. Aydan cowok, jadi harus lebih gede," ujar Aydan sambil membuka tutup kaca helm yang Aden kenakan.

Sementara itu Ayra tidak menjawab dan lebih memilih untuk memainkan gantungan kunci motor yang Aden letakkan di saku depannya.

Aden menuju ruang tengah, di sana ada kedua orang tua dan kakak perempuannya. Mereka adalah alasan Aden untuk tetap memilih jauh, padahal ingin bersama. Si kembar merosot dari gendongan pamannya, mereka berlari dan menuju halaman belakang.

"Kok nggak bilang kalau mau pulang, Nak? Tahu begitu ibu belanja banyak."

"Nggak usah, Bu. Besok saja sekalian masak untuk bekal Aden balik."

"Lah, sehari saja pulangnya?" ujar sang ayah. "Nggak sekalian agak lama?"

Aden menggeleng, ia mulai melepaskan atribut motor. Helm berwarna hitam pekat, jaket kulit tebal, dan sepatu bersol tebal juga ia lepaskan setelah selesai bersalaman dan menyapa seluruh keluarganya.

"Aden nggak bakalan pulang kalau nggak ada sesuatu," celetuk Ratu sambil mengupas buah mangga berwarna oren.

Si bungsu tersenyum dan langsung menarik kursi untuk duduk di sebelah sang kakak. Ia membuka mulutnya dan menunggu sang kakak menyodorkan mangga segar itu ke dalam mulutnya.

"Sesuatu apa?" Sang ayah tampak penasaran dengan apa yang disampaikan oleh Ratu.

"Dia ketemu Galuh, Yah."

Si kepala keluarga itu menatap tajam pada Aden, "Serius? Bukannya dia dan keluarganya ada di luar pulau Jawa?"

Aden tersedak, ia buru-buru mengambil air yang disodorkan oleh ibunya. "Ayah kok tahu?"

Tanpa di duga, sang ayah justru menutup mulutnya sambil menghadap ke arah Ratu yang sudah menampakkan wajah kesalnya. Sepertinya ada hal yang tidak diketahui oleh Aden selama ini. Atau keluarganya memang menyembunyikan hal ini darinya?

Ah, masa bodoh. Untuk kali ini saja ia ingin egois. Seharian ia sudah sampai di rumah, hanya satu hal yang Aden lakukan, yaitu mengikuti ke mana saja kakaknya pergi. Bahkan ketika sang kakak memberi perintah, tanpa penolakan, ia bergegas melakukannya.

Akhirnya yang diharapkan juga terjadi. Ratu merasa sebal dan memilih duduk di teras. Tidak lupa dengan Aden yang juga duduk di sebelahnya.

"Mau apa?"

"Info lengkap, Teh, 5W+1H," ujar Aden sambil menaikkan lima jari dan satu lagi telunjuk jarinya.

"Dari mana dulu?"

"Seterah, dah," ucap Aden sambil membenarkan posisinya dan lebih condong pada sang kakak.

"Dia pulang karena masalah keluarga, lagi proses cerai, suaminya keras banget sampai main fisik, dia ke Jakarta karena merasa lebih aman. Di sana banyak keluarganya. Eh, malah kalian ketemu."

"Mbak Galuk nggak apa-apa kan? Apa itu yang bikin dia nggak mau aku deket-deket?"

"Dia nggak pengin orang lain kena imbas dari masalahnya."

"Seharusnya dia terbuka, dia nggak seharusnya menutup diri. Aku juga bakalan senang hati bantuin."

Ratu mendekati sang adik dan menjitak kepalanya dengan lumayan keras. "Nggak gitu konsepnya, dodol! Lo sama aja nambahin masalah. Tugas lo satu aja, jadi guru yang baik buat Rama."

Aden mengangguk dan mulai merenungkan apa yang sudah ia lakukan pada Galuh. Pantas saja dari dua kali pertemua dan bertatap muka dengan perempuan yang ia sukai itu, ia menangkap sorot mata yang seperti memendam rasa takut. Ternyata itu yang menjadi alasnnya.

"Ayah sejak kapan tahu soal Mbak Galuh? Dan selama sepuluh tahun ini Teteh nggak lepas kontak dengan Mbak Galuh?"

Ratu menggeleng, ia menatap wajah adik bungsunya dengan sangat sendu, "Maaf, Teteh harus seperti itu karena nggak ingin kamu jadi pengganggu rumah tangga orang lain."

"Aku nggak akan sebodoh itu, Teh, tapi makasih sudah jagain aku dari hal itu. Ibu juga tahu?"

Ratu mengangguk. Aden menjadi lebih paham, ternyata hanya dirinya saja yang tidak tahu mengenai keberadaan Galuh. Keluargnya ini ternyata sungguh luar biasa.

"Den, boleh Teteh minta tolong? Jangan ganggu Galuh dulu sampai semuanya selesai."

"Aku janji, Teh. Aku nggak akan macem-macem, aku hanya guru untuk anaknya."

Aden berujar sambil menggenggam tangan sang kakak. Ya, ia paham betul bagaimana pertemanan kakaknya dengan perempuan bernama Galuh itu. Atau mungkin yang lebih jauh, keduanya sudah seperti saudara, apalagi ada masa yang Aden lewatkan.

Masa itu adalah masa setelah menikan dan sepuluh tahun berikutnya. Aden terlalu asing untuk kembali masuk dalam kehidupan Galuh secara tiba-tiba. Setelah sang kakak menjelaskan hal itu, Aden lebih banyak terdiam.

Bahkan ketika makan malam bersama keluarganya, ia banyak menunduk dan hanya bercengkrama dengan si kembar saja. Setelah makan malam selesai, Ratu memanggil Aden dan mengajaknya berkeliling Bandung.

Mereka mengunjungi beberapa tempat dan membeli makanan yang membangun memori mereka saat remaja dulu. Beberapa makanan itu mereka bawa pulang untuk dimakan bersama keluarga.

"Den, Teteh nggak tahu kalau rasa sayangmu sedalam ini sama Galuh," ucap Galuh saat menunggu sate ayam selesai dibuatkan, dan mereka menunggu di bangku taman.

Aden tersenyum, "Aku nggak suka main-main, Teh. Kalau semisal setelah masalah ini selesai aku jagain Mbak Galuh sama Rama, gimana?"

"Kamu mau? Ayah sama ibu, gimana? Kamu yakin bakal diterima sama keluarganya Galuh?"

Sang adik hanya menaikkan bahunya karena sesungguhnya ia sendiri pun tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aden beranjak ketika penjual sate mendekat dan memberikan pesanannya.

Ia bergegas mengajak sang kakak untuk pulang. Keduanya menuju motor, Aden naik terlebih dahulu dan menurunkan pijakan kaki untuk sang kakak. Perlakuan itu membuat Ratu tersenyum dan menepuk bahu si bungsu.

"Teteh sudah lama nggak dapat perlakuan manis kek gini. Makasih, ya?"

Si pengemudi motor hanya menoleh sejenak dan kembali fokus menyetir motor. Beberapa jalan yang mereka lewati sekali lagi memanggil memori di kepala untuk kembali. Jalanan ketika pulang sekolah, bahkan jalanan ketika Aden dikeroyok di depan sekolah.

"Itu klinik waktu kamu dirawat setelah dikeroyok."

"Teh, apa Mbak Galuh nggak bilang sesuatu?"

"Tentang apa?"

"Dia yang nolongin dan bawa aku ke klinik setelah dikroyok?"

Ratu terdiam, kepalanya masih mencerna apa yang disampaikan oleh sang adik. Sebab sebenarnya Ratu baru mengetahui fakta ini. Ratu hanya berpikir, Aden suka pada Galuh karena keduanya sering bertemu dan karena Galuh sering bermain ke rumahnya.

"Serius Galuh yang nolongin?" tanya Ratu sekali lagi untuk memastikan.

Sekali lagi Aden mengangguk. Kejadian dari bertahun silam itu ternyata begitu bermakna sampai akhirnya fakta yang terjadi tidak banyak diketahui oleh orang lain, bahkan keluarga sendiri.

🍂🍂🍂

Bondowoso, 16 Oktober 2023
Na_NarayaAlina

Bukan Cerita Cinta Bandung BondowosoWhere stories live. Discover now