~ enam: mengejutkan ~

26 6 0
                                    

Aku bisa menjawab banyak pertanyaan,
kecuali pertanyaan kapan aku akan berakhir denganmu

🍂🍂🍂

Tempat ternyaman di sekolah adalah sebuah tempat di balik loker yang hanya bisa berisi satu orang saja. Tidak terlihat oleh lainnya, sejuk, dan aman dari mereka yang suka mencari di saat genting.

Aden yang selalu dianggap anak baru seringkali menjadi tujuan akhir jika ada kelas yang kosong. Para senior tidak akan segan memintanya untuk mengisi kelas tersebut sesuai dengan pelajaran yang ada.

"Pak Aden, kelas 5C kosong mapel Seni Budaya, minta tolong diisi, ya?"

Ibu Wakil Kepala bidang Kurikulum langsung memanggil namanya. Aden mendengar suara itu, tetapi ia tetap diam dan berdiam diri di belakang loker.

"Pak Aden kan gantikan kelasnya Bu Arini selama cuti, jangan dikasih ke dia terus, Bu," ucap Pak Anton yang sempat melihat Aden berbaring di lantai dengan beralaskan banner kegiatan yang sudah tidak terpakai.

"Ya sudah, minta tolong siapkan tugas saja untuk kelas itu dan sekalian dijaga untuk yang tidak ada jam mengajar." Ibu guru yang biasa dipanggil Bu Ayu itu akhirnya memilih untuk keluar dari kantor ketika banyak guru sudah menuju kelas masing-masing.

Pak Anton memberi kode pada Aden setelah memastikan guru-guru memasuki kelas dan tersisa beberapa yang tidak memiliki jam mengajar atau sedang ada pekerjaan.

"Tumben jam istirahat sudah gegoleran di situ?"

"Capek, Pak. Baru balik dari Bandung," ucap Aden sambil menggerakkan lehernya yang terasa kaku.

"Cah, mau tak kenalin sama seseorang?" tanya Pak Anton.

Lelaki yang sudah memiliki tiga anak itu tersenyum lebar ketika menyapa Aden dengan sapaan khasnya, Cah atau Bocah. Sejak awal Aden mengajar, keduanya memang langsung dekat.

Aden tersenyum seperti biasanya ketika pertanyaan ini sudah mulai terlontar dari mulut seniornya ini. Tanda-tanda perjodohan jalur kilat pasti akan dimulai tidak lama dari anggukan atau gelengan dari Aden.

"Orang yang saya tunggu sudah menampakkan hilalnya, Pak."

"Ah, serius? Wah, jadi kapan mau sebar undangan?"

"Ya ndak secepat itu juga, Pak. Saya juga masih belum tahu gimana kelanjutannya. Masih mencoba lagi, Pak."

Pak Anton mendekati Aden dan memilih untuk selonjoran di hadapan lelaki yang lebih muda itu. Dengan dua bungkus kuaci yang Pak Anton beli dari kantin, keduanya semakin larut dengan percakapan tentang kehidupan.

Aden hanya menyimak sambil sesekali menimpali. Hanya saja, terkadang pembahasan mengenai rumah tangga itu membuatnya sedikit berpikir. Bagaimana kehidupan rumah tangganya kelak. Akankah lebih baik atau justri jauh dari bayangannya selama ini.

Sedang asyik berbicara, salah seorang guru datang dengan membawa anaknya yang berusia delapan bulan. Bayi laki-laki dengan pipi yang tembam ditaruh begitu saja di pangkuan Aden.

"Titip bentar, saya mules," ucap sang ibu sambil membuka gendongan yang melilit di tubuhnya.

Pak Anton beranjak dari hadapan Aden, ia melambaikan tangan pada si bungsu dan bayi yang ada dipangkuannya. "Nggak ikutan, kamu saja yang urus. Hitung-hitung latihan, sudah pantas soalnya buat punya satu yang seperti itu."

"Keponakan saya kembar kalau Bapak lupa," ucap Aden sambil menampilkan wajah masamnya pada Pak Anton.

"Lupa kalau sudah mahir urus bayi."

Bukan Cerita Cinta Bandung BondowosoWhere stories live. Discover now