3

1.5K 57 13
                                    

Beberapa minggu sebelumnya di tengah hutan hujan Kalimantan. Cakrawala tengah membiru seiring dengan suasana malam yang mengharu. Pohon-pohon Ulin, Gaharu dan Bajakah menjulang di langit-langit. Rimbunnya dedaunan membuat tetesan air gerimis tak langsung jatuh ke daratan. Walau lambat, air sungai masih mengalir membentuk sebuah ceruk kecil dimana seekor burung enggang sedang meminum air. Seharusnya, burung berparuh tebal itu sudah bertengger menikmati malam, bukan berkeliaran di daratan hanya untuk sekedar minum.

Tiba-tiba,

doooorrr!

Terdengar suara tembakan dari dalam hutan. Burung itu lemas, namun tak mati.

"Nah, dapat!" Ucap seseorang pria yang memberitahu temannya dengan Wally Talky. Orang itu adalah pemburu burung yang sangat dilindungi. Ia akan menjualnya di pasar gelap dengan harga mahal. Burung itu terkapar lemas setelah peluru bius menyuntikan bius yang memasuki tubuhnya. Peluru itu terkadang tidak membius, tetapi membunuh jika dosisnya tidak sesuai.

"Apa dia masih hidup? Srrrkkk!" Suara Wally Talky kembali berderik.

"Ya, sepertinya ma— aaaaahhhhhhhhh!" Pria pemburu itu berteriak meninggalkan Walky Talky-nya yang tergeletak begitu saja di tanah lembab.

"Eh,,, hei! Ada apa! Roger,,, Tess!" Wally Talky itu berderik penasaran.

Lalu, sebuah tangan besar meraih walky talky yang hanya sebesar jemarinya saja. Tubuh makhluk itu dipenuhi bulu-bulu seperti gorila, namun yang lebih mengerikan adalah nafasnya yang menggeram.

"Roger! Ada apa? Apa kau terjatuh, terluka, atau diserang binatang!" Suara Walky talky itu berderik kasar.

"Grrrrrrhhhhh,,, Jaaahhhngaannn penaaahhh berbuuurrruuuu laaagiiijjjj!" Ungkap Mahkluk itu geram. Lalu meremas walky talky itu hingga hancur.

Tak lama, burung itu kembali bangun dan terbang ke atas makhluk yang sudah berubah menjadi manusia. Wajahnya tampan dengan otot yang kekar. Tubuhnya telanjang dengan sebuah koteka dari gading badak menutupi bagian bawahnya. Rambutnya berantakan dengan alis menekuk ke bawah. Bibirnya tipis semu hitam dan rahangnya kekar.

Entah kenapa? Burung itu berbicara, "besok-besok, suruh Sinta saja yang jadi umpan." Ungkap burung Enggang itu. "Auuhhh,,, Pantatku sakit."

"Hahahaha,,, mana mungkin Santi, kau burung yang cantik. Untuk apa mereka menembak Babi hutan seperti Sinta." Pria itu bergurau.

"Arrrggg,,, kalau begitu. Ubah aku menjadi kucing yang lucu di Weton-ku nanti." Burung yang bisa bicara bernama Santi itu menggertak.

"Mnnn,,, itu terserah Melanie, jika tak nemu kucing, kau bisa pilih anjing! Anjing kampung banyak!" Ujar Pria yang mulai melangkah pergi itu.

"Ahras! Aku serius!" Santi si burung Enggang menggerutu. "Aku gak mau jadi anjing kampung yang dikawini oleh banyak anjing!"

"Hahahaha," Pria bernama Ahras itu terbahak seraya berlari dirimbunnya hutan. "Enak donk dikawini. Usiamu sudah lebih dari empat ratus tahun dan belum kawin-kawin!"

"Kurang ajar kau, Paman Ahras!" Santi mengejar dengan kepakan sayapnya. Namun pria bernama Ahras itu bukan seperti manusia pada umumnya. Ia dapat bergerak seakan disekitar tak bergerak. Bahkan ketika ia menapak, debu yang bergetar tak kunjung kembali jatuh ke tanah. Sungguh kemampuan yang diluar nalar.

"Hahahaha!!! Coba kejar aku!" Tantang Ahras yang melompat menapaki batang pohon ulin yang masih tinggi. Burung Enggang bernama Sinta itu mengejarnya, namun kecepatannya tak sama dengan Pria bernama Ahras itu.

Lalu kaki Ahras mendarat di halaman belakang sebuah rumah yang cukup megah ditengah perkebunan sawit. Ahras melihat dari jendela, terlihat seorang wanita yang cantik jelita. Parasnya putih dengan hidung mancung ala noni-noni belanda. Bibirnya tipis menyuratkan semburat senyum yang dapat menawarkan segala racun sendu di alam dunia. Rambutnya hitam kemerahan berombak, sebahu yang sangat terawat. Wanita itu mengenakan handuk kimono dan mengusap rambutnya dengan handuk ditangannya. Sepertinya Wanita itu baru selesei mandi,

Saklawase II : Orang-orang yang hidup selamanyaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant