10. Tidak Untuk Disakiti

263 12 0
                                    

🌷🌷🌷

"Lo sejak kapan balik ke Jakarta? Kenapa gak bilang? Mama juga gak ngomong sama gue."

Atlas masuk ke kamar Arga--sang kakak, setelah hampir 3 tahun menghilang dan menenangkan diri, akhirnya Arga pun bersedia untuk pulang ke sini.

"Kalau ujungnya mau pulang, kenapa lo gak hadir coba di acara pernikahan gue?"

"Ya gue baru mantap buat pulang kemarin. Lagian gue juga masih belum bisa ketemu orang ramai. Apalagi acara pernikahan kaya gitu. Yang ada gue malah keinget lagi moment pernikahan gue sama Clara."

Mendengar pernyataan Arga, Atlas pun jadi paham dan memakluminya.

Benar juga apa yang dikatakan kakaknya itu. Momen pernikahan dia dan Anin pasti akan membuat Arga teringat dengan mendiang istrinya.

Mengingat tentang Arga dan Clara, Atlas pun menjadi iri karena merasa nasib sang kakak jauh lebih baik ketimbang dirinya.

Arga bisa bersanding dengan wanita yang dia cintai, sementara dirinya dan Alina, justru begitu sulit untuk bersatu karena harus berjuang mendapatkan restu dari mamanya sendiri.

"Tapi gue iri sama lo, Kak."

"Iri?"

"Iya."

"Iri kenapa?"

"Lo bisa menikah sama cewek yang lo cintai. Walaupun kebersamaan cuma sebentar, tapi kalian pernah bahagia dalam ikatan pernikahan."

Arga tersenyum getir.

Bahagia?

Bahkan Arga sendiri tidak tahu bahagia seperti apa yang Atlas maksud. Buat apa kebahagiaan yang sementara itu kalau dia harus menanggung nestapa sepanjang hidupnya?

Arga sendiri yang telah merasakannya. Berpisah karena kematian adalah perpisahan yang begitu menyakitkan.

"Tapi sekarang buktinya lo juga udah menikah, 'kan? Dan gue juga yakin kalau istri lo itu pasti perempuan yang baik."

Atlas mengembuskan napas pelan.

"Dia emang baik, tapi gue gak cinta."

"Maksud lo?" tanya Arga bingung.

"Lo tahu kan sejak awal gue cinta sama Alina. Tapi nyokap sama bokap gak pernah kasih restu hubungan gue sama Alina."

Kening Arga mengkerut. Dia masih bingung dengan apa yang dikatakan adiknya itu.

Alina? Apa maksudnya?

"Tapi dia akhirnya ninggalin lo, 'kan? Dia yang nggak mau lo perjuangin lagi. Bukannya mama bilang perempuan itu pergi setelah mama bersedia kasih restu? Buktinya saat kalian mau menikah dia malah ninggalin lo, kan?"

"Tapi dia punya alasan, Kak. Dan gue bisa terima alasan itu."

"Bisa terima alasan karena dia ninggalin, lo? Tunggu-tunggu, lo nggak balikan sama dia, 'kan?"

"Bisa dibilang begitu."

"Lo gila?"

Atlas paham keterkejutan Arga karena reaksi yang Arga berikan sesuai prediksinya.

"Gue sama Anin nggak saling cinta, Kak."

"Terus kenapa lo mau nikahin dia?"

"Karena awalnya gue pikir gue bisa sembuhin luka gue karena kepergian Alina lewat pernikahan itu. Tapi gue salah, satu hari sebelum akad gue sama Anin. Alina balik dan ceritain semuanya."

Arga menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

"Lo lanjutin hubungan lo dengan Alina sementara status lo sebagai suami Anin? Itu artinya lo egois, Atlas. Lo gak cuma nyakitin satu perempuan. Tapi dua perempuan sekaligus.

Kalau memang Alina balik sebelum lo menikah sama Anin, harusnya lo batalin pernikahan itu. Bukannya malah melanjutkan."

"Gue nggak bisa lakuin itu karena gue nggak mau mama marah besar."

"Demi menghindari kemarahan mama, lo tega merampas hidup Anin? Itu artinya lo nyakitin dia, Atlas. Dia harus terjebak sama pernikahan yang gak sehat kayak gini. Lo gak pikirin perasaan dia?"

"Dia tahu dan dia pun bisa memaklumi gue. Gue udah mengatakan yang sejujurnya ke dia. Dia bilang nggak masalah."

"Wah, benar-benar kurang ajar."

"Iya, gue emang kurang ajar untuk perempuan sebaik Anin. Makanya gue nggak mau dia jatuh cinta sama gue. Dia itu perempuan baik, gue akuin itu. Maka dari itu, gue pengen ngejodohin dia sama lo, Kak. Karena cewek baik kayak Anin cuma pantas buat, lo."

Dua tangan Arga terkepal. Hatinya sakit karena mengetahui tabiat buruk Atlas yang seperti itu. Satu pukulan akhirnya mendarat di pipi kiri Atlas.

Atlas nyaris tersungkur ketika menerima bogeman dari Arga.

"Bisa-bisanya lo suruh lelaki lain buat nikahin perempuan yang udah jadi istri lo?"

"Gue sama Anin sepakat untuk bercerai kalau gue nggak bisa cinta sama dia."

Pernyataan Atlas betul-betul membuat Arga tak bisa berkata-kata lagi. Dia tidak pernah menduga kalau Atlas akan tumbuh menjadi lelaki sebrengsek ini.

Lelaki itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.

"Lo kelewatan Atlas."

"Kak, justru gue lebih kelewatan lagi kalau gue terus membiarkan dia jadi istri gue. Jadi istri yang gak pernah gue cintai, seumur hidupnya dia bakal menderita kalau dia sama gue."

"Lo pikir pernikahan itu permainan? Atlas, ingat saat lo udah ucapin ijab kobul. Lo bukan cuma bukan janji sama Anin dan orang tuanya. Tapi Lo juga udah janji di hadapan Allah. Mending sebelum lo bertidak jauh, lo akhiri semuanya, Atlas. Lo sama Alina nggak mungkin bisa bersama. Lo harus terima kenyataan kalau Anin itu istri lo. Perempuan yang bakal nemenin lo sampai tua nanti."

"Tapi gue nggak bahagia sama dia, Kak."

"Itu karena lo nggak tahu caranya bersyukur. Lo nggak bahagia karena lo nggak pernah coba buka hati, lo nggak pernah mau mencoba untuk terima Anin. Lo cuma bisa ngerasain sakit hati lo tanpa lo mau tahu tentang sakit hati Anin.

Lo cuma bisa fokus sama segala tentang Alina. Justru hal itu bikin mereka sama-sama sakit. Lo bilang lo nggak bahagia, itu karena lo nggak mau nerima apa yang udah jadi milik lo.

Lo merasa terpaksa dijodohin sama Anin? Atlas, nggak ada orang tua yang mau ngejerumusin anaknya ke dalam jurang. Kalau mama dan papa pilih Anin buat jadi istri lo artinya mereka punya feeling kalau Anin itu yang baik buat lo."

"Tapi cinta itu gak bisa dipaksain."

"Lo harus bisa sampai benar-benar terima Anin. Nggak ada cara lain lagi, Atlas. Anin nggak ngelakuin kejahatan sama lo, dia sama sekali nggak pernah paksa lo buat terima pernikahan kalian, 'kan? Gue yakin Mama sangat menentang perceraian kalian.

Dari cerita mama, gue yakin Anin itu perempuan yang baik, lo harus bisa bersyukur. Kesampingkan dulu masalah cinta. Cinta dalam pernikahan itu kurang penting, Atlas. Yang paling penting adalah lo menikah dengan perempuan yang baik."

"Memangnya lo bisa lupain kak Clara? Enggak kan, sama kayak gue, gue gak bisa lupain Alina."

"Urusan Clara dan Alina itu beda, Atlas. Clara pergi ketika dia udah jadi istri gue dan dia pergi membawa anak gue. Gue nggak akan bisa lagi lihat dia. Sementara lo? Lo sama dia belum terikat apa pun, Atlas.

Gue memang sempat drop dan menutup hati. Tapi gue sadar hidup gue masih panjang. Tapi kalau semisalnya lo memang gak mau melanjutkan pernikahan lo sama Anin. Pisah secara baik-baik tanpa nyakitin dia." Kata Arga, Atlas masih diam dan enggan menjawab

"Satu lagi, gue gak mungkin jadiin dia istri karena sama aja gue bikin dia terpenjara dalam rasa sakit karena harus hidup berdampingan dengan lelaki yang menghancurkan hidupnya."

Arga memegang bahu Atlas.

"Dia tidak untuk disakiti. Inget, Atlas. Apa yang lo pikir baik belum tentu baik buat lo. Jangan sampai lo nyesel dikemudian hari."














Dear Atlas Where stories live. Discover now