Cahaya matahari sebentar lagi mengarah ke atas kepala, dengan kata lain waktu tengah hari perlahan tiba. Lalu lintas macet yang berhasil dilalui Athaya, membekas rasa panas setelah sekian menit mengarungi jalan raya bersama jasa Mas ojek online.
Tidak begitu jauh jarak antara kost tempat Athaya tinggal, menuju gedung tinggi ini. Gedung pusat dari segala cabang perusahaan Kathleen Wirata, nan tersebar di beberapa penjuru tanah air maupun negara luar.
Sebuah perusahaan dari pemilik hebat, bernama Dharma Wirabahari Abikara bersama dengan istrinya Lunna Kathleen. Mereka memasuki daftar salah satu klomengrat nusantara, yang sukses merintis usaha sejak mereka masih muda, dan terombang-ambing oleh ombak tantangan, sampai sejak putri mereka Anne lahir, Kathleen Wirata benar-benar diresmikan menjadi sebuah perusahaan.
Seiring berjalannya waktu Kathleen Wirata menjadi perusahan penghasil barang dan jasa yang paling banyak diminati masyarakat, hampir setengah abad perusahaan ini berdiri. Selama itu pula sektor-sektor berkembang pesat.
Sampai, berdasar putusan dewan direksi, pemimpin juga harus diganti karena faktor usia sang pemilik. Tentu saja, atas persetujuan bersama. Sekarang, Dharma dan Lunna menikmati usia tua di Bandung tanah kelahiran mereka.
Sementara itu, posisi presiden direktur Kathleen Wirata diambil alih oleh menantu mereka, Gerald Harvey. Selama Gerald sibuk menghadiri konferensi industri, dan pembukaan cabang baru di beberapa negara. Lelaki berkebangsaan Polandia itu memerintahkan putra sulungnya mengambil alih sementara jabatannya.
Inglid Philip Abikara. Nama putra sulungnya. Pria dua puluh delapan tahun, yang kurang sensitif dan empati terhadap orang lain, bisa dibilang lelaki dingin maniak pekerjaan demi meraih tujuan perusahaan. Sikap otoriter, serta enggan toleran pada kesalahan, membuat Phillip terkenal lebih tegas ketimbang ayahnya seorang. Tak heran banyak karyawan nan segan, jika Philip menginjakkan kaki di lantai gedung perusahaan.
Athaya hirup napas dalam, lantas ia embuskan kasar. Berdiri di depan gedung, lalu melangkah dengan pasti. Ketika pintu otomatis menuju lobi terbuka lebar. Waktu tengah hari, pukul belum menunjukkan setengah satu waktu biasanya para karyawan melepaskan penat.
"Ikuzo!" Athaya menyemangati diri, membawa raut wajah yakin, nasib buruk tidak akan terjadi.
Blouse gelap, dan celana kain berwarna lembut yang menyembunyikan ujung bajunya. Athaya datang dengan penampilan rapi serta sopan, selayaknya kembali menjadi seorang anak magang.
Menyapa petugas keamanan berpakaian serba hitam, di dekat pintu masuk utama. Athaya langsung di arahkan petugas itu di ruang lounge atas perintah Pak Chris, selaku asisten pribadi Gerald. Memiliki sedikit perbincangan, petugas itu selalu menjawab pertanyaan basa-basi dari Athaya seperlunya, sebab masih berada di jam kerja.
"Terima kasih, Pak," kata Athaya.
Petugas itu terangguk lalu menjawab, "Sama-sama." Kemudian berbalik meninggalkan Athaya di ruang lounge, tempat biasanya para karyawan menghabiskan waktu untuk beristirahat di lantai dasar.
Kursi empuk yang lebar, sofa, meja kecil, hingga mini bar dengan berbagai macam minuman dan makanan kecil. Selama pemanggangan, jujur Athaya tidak pernah menghabiskan waktu istirahat di fasilitas mewah perusahaan ini. Selain ada rasa malas untuk turun ke lantai bawah, Athaya juga harus mempunyai keberanian di tengah puluhan pegawai senior, nan tengah beristirahat. Namun, kali ini athaya merasa keberuntungan seakan berpihak pada dirinya, sebab saat ini ia datang di waktu sebelum istirahat karyawan di mulai.
"Ayara," panggil Chris, pria setengah baya dengan setelan jas.
Athaya menoleh. "Ya, Pak?"
Athaya spontan berjalan menuju ke arahnya, kemudian mereka bersalaman. "Maaf Pak, saya sedikit terlambat."
Chris tertawa kecil sambil menepuk bahu Athaya pelan, seperti memperlakukan anaknya. "Ah ... tidak-tidak, Nak. Kamu datang sebelum waktunya, jadi jangan khawatir."
"Uh ... syukurlah Pak, saya sempat mengira saya akan terlambat." Athaya mengelus dadanya.
Athaya melakukan trik kecil untuk menunda waktu dengan Pak Chris. Dia tahu sebenarnya dia belum terlambat sama sekali. Bahkan, gerakan tubuh Athaya mengatakan semua itu. Sekarang, Athaya memikirkan strategi untuk membuang waktu dan menghindari Philip.
"Baiklah-baiklah," sahut Chris
Athaya berpura-pura memandang arloji mati di tangan kirinya. "Masih ada waktu, Pak. Bagaimana kalau kita ngopi saja?"
"Apa kamu ingin minum secangkir kopi, Ayara?" tanya Chris.
Athaya mengangguk sambil melebarkan senyuman. Ia merespon dengan dehaman senang, berpikir rencananya akan berjalan lancar.
"Kalau begitu, saya akan menghubungi barista dan akan mengantarkannya ke ruangan Tuan Inglid ...." Sepatah kalimat dari Pak Chris yang belum selesai. Sekali lagi, membuat Athaya sejenak lupa caranya bernapas.
"Gawat," bisik Athaya.
"Kebetulan, Tuan Inglid sudah menunggu di ruangannya, jadi silakan naik ke atas, ya, Nak," ujar Pak Chris.
Athaya menatap kosong ke depan, dalam pikirannya tersimpan ribuan kalimat penolakan, tetapi entah mengapa tak satupun yang bisa terucapkan. Andai saja Athaya tak pernah meminta kopi pada Pak Chris yang baik hati ini. Maka takkan ada perasaan memalukan seperti ini. Sial!
"Ayara?" Pak Chris menekuk alis heran.
Athaya tersadar. "I-Iya?"
"Apa jangan-jangan kamu sudah lupa dimana ruangan Tuan Inglid?"
Athaya menggaruk tengkuknya dan berdalih, "Haha ... iya Pak, saya sudah lup- saya ingat Pak!"
"Ayara?"
Raut bodoh tergambar di wajah Athaya, bercampur rasa panik. Pak Chris merasa bersalah pada anak perempuan ini, tetapi apa boleh buat. Toh itu juga demi Tuan muda mereka. "Ba-Baiklah. Kalau begitu, sekarang segera temui Tuan Inglid."
Layaknya seorang anggota militer, Athaya mengangkat tangan dengan jari rapat ke arah kepala dan pandangan tetap lurus ke depan. Sambil berkata, "Laksanakan!"
Pak Chris mengangkat jari jempolnya dengan ragu-ragu. Sementara, Athaya memaksa dirinya untuk menahan perasaan malu dan menjauhkan keinginan untuk meminta Pak Chris mengantarnya ke ruangan Philip. Hampir saja ia mengaku lupa, tapi ia berhasil menepis keinginan tersebut dengan kesadarannya.
"Akhirnya," gumam Athaya lega setelah berpisah dari Pak Chris dan menuju lift yang membawanya ke lantai paling atas gedung di mana Inglid Philip Abikara menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrogate Fiancé ||COMPLETED||
Romance"Tenanglah, hanya satu malam berakting menjadi kekasihku, aku rasa bukan hal yang sulit bagimu?" "Tidak." Athaya merasa merinding, ketika sisi dingin Philip berubah menjadi pria yang lebih menjengkelkan. "Jika pun saya bisa, saya tidak akan melakuka...