4. 80's era

67 40 2
                                    

“Kenapa lo bawa gue kesini! Gue mau kasih pelajaran ke anak kurang ajar itu!” Oceh Atlanta.

“Jangan pernah lo berurusan dengan Evelyn, Atlanta!” Peringat dari Justin.
Atlanta berkacak pinggang “Ada apa? Untuk apa gue takut dengan anak tukang roti?”

“Benar, dia anak tukang roti.. roti terkenal di dunia! Yang dimiliki oleh Kimlee-sang group”

Atlanta tak percaya “Dia? Anak direkturnya?” Justin menggelengkan kepala “Bukan, tapi anak CEO-nya”

Atlanta yang menahan tawa, melepaskannya begitu saja karena ucapan Justin barusan. Ia menghentikan tawanya dan tertawa kembali saat melihat wajah Justin.

“Itu hanya rumor palsu, jangan dipercaya. Kalau pun dia memang anak CEO, maka gue sebagai anak dari hakim harus berbuat, bukan? Itu mudah, sangat mudah untuk menjatuhkan seseorang seperti dirinya”

“Jangan khawatir, lo aman karena memihak gue” Ucap Atlanta, menepuk pundak Justin lalu pergi.

“Bahkan dirinya lebih buruk dari Evelyn”

“Bahkan dirinya lebih buruk dari Evelyn”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kelas seni dimulai. Evelyn memilih duduk di kursi yang paling atas dekat dengan jendela dan memulai melukis seperti yang diperintahkan oleh guru. Lukisan yang begitu indah, menggambarkan era 80-an terlihat jelas didalam lukisan.

“Kenapa kamu lebih memilih melukis era 80-an, Evelyn?” Tanya guru.

Evelyn tersenyum “Temanya adalah ruang dan waktu, bukan? Tandannya sesuatu dimasa lalu”

Guru itu mengambil lukisan Evelyn dan melihatnya secara detail. Lukisan yang begitu menggambarkan sebuah perasaan acak dari pelukis.

“Apa kamu pernah hidup di era ini? Ini begitu hidup”

Evelyn menurunkan bola matanya “Mungkin” Gumamnya.

“Kalau begitu, apa saya boleh izin keluar lebih dulu? Disini sangat pengap”

“Silahkan, kamu sudah selesai” Evelyn pun keluar dari ruangan.

Dadanya begitu sesak untuk bernafas. Nyatanya, dirinya tak berniat untuk melukis era 80-an tapi tangannya mengukirnya sendiri seperti seseorang menguasai dirinya dan melukis diatas canvas untuknya. Tangan Evelyn mulai bergetar kembali, ia bergegas pergi ke toilet dan mengunci diri disalah satu bilik.

“Ini sangat menyiksa, ada apa ini?”
Haera mengetuk bilik yang terdapat Evelyn disana. Ia menyuruh Evelyn keluar dan mengajaknya pergi ke taman sekolah lalu memberikan sebuah minuman padanya.

“Apa ini?” Tanyanya “Minumlah itu akan membuatmu membaik, nona”

Evelyn pun bergegas meminumnya. Benar saja, dirinya mulai membaik. Dadanya tak lagi merasa sesak, tangannya tak terus bergetar dan ia merasa tenang sekarang.

“Terimakasih” Ucapnya yang dibalas anggukan.

“Tapi.. nona, mengapa anda menggambar era 80-an? Lukisannya begitu hidup dan sangat menyeramkan, tetapi semua orang bilang  itu adalah lukisan yang begitu indah”

“Kenapa lo bilang lukisan itu seram? Haera, jangan panggil gue nona, oke?”

“Oke. Lukisan itu terlihat seram karena lo menggambar seorang perempuan disana, ia tak henti menatap kaca yang begitu besar dihadapannya sedangkan didalam sana terdapat seorang lelaki yang peduli akan kehadirannya”

Evelyn tersenyum manis sambil menundukkan kepala lalu mendongakkan kepalanya dengan mata tertutup. Membiarkan sinar matahari yang  menembus wajahnya.

“Entahlah, mungkin itu adalah gue di kehidupan sebelumnya.. begitu menyedihkan. Tidak! Sangat menyedihkan bahkan dilihat dalam lukisan yang diukir dengan indah”

Haera menarik Evelyn dan melihat dengan seksama manik mata miliknya “Ada apa?” Herannya. Haera pun melepasnya “Bukan apa-apa”

“Bukannya lo ga percaya dengan reinkarnasi atau pun kehidupan sebelumnya?”

Evelyn mengangguk “Ya, tapi setelah dipikir-pikir itu adalah hal yang menarik dan gue suka hal yang menarik”

“Hal menarik apa yang kalian maksud?”
Tanya seseorang, dari arah belakang membuat mereka berdua terkejut.

Haera memukuli tubuh Calvin yang mengejutkan mereka. Calvin pun meringis kesakitan dan duduk diantara mereka berdua.

“Ga ada niatan nolong gue, kah?” Evelyn menggelengkan kepala dan pergi dari sana.
“Dingin banget jadi cewek!” Teriak Calvin, diikuti perginya Haera.

Haera melihat semua gerak gerik Evelyn dari belakang. Cara jalan yang tak pernah berubah dari zaman ke zaman, cara tersenyum hingga bagian terkecil pun masih mirip. Perbedaannya adalah sikap yang diterapkan oleh gadis yang berjalan didepannya ini, begitu dingin.

Evelyn menghentikan langkahnya, membuat Haera menabrak punggungnya. Ia pun meminta maaf sambil tersenyum. Kerutan mata, sudut bibir yang naik dan beberapa kerutan di pipinya juga lesung pipit di bagian kanan wajah sangat mirip dengan orang yang dikenal oleh Haera.

“Apa.. lo orang yang gue kenal? Apa lo benar-benar lupa semua hal?” Tanya Haera.

Evelyn mengerutkan keningnya “Ada apa dengan lo? Jangan aneh, jangan pernah baca buku-buku fiksi aneh itu lagi, oke?” Larangnya “Gue bukan terpengaruh, Evelyn. Tapi..”

“Haera!” Panggil Jaime dari arah berlawanan Evelyn.

Jaime menghampiri dan membawa Haera pergi dari hadapan Evelyn. Evelyn pun melanjutkan jalannya menuju kelas dan tak sengaja bertemu dengan Leon.

“Oh, nenek lampir!” Panggil Leon pada Evelyn.

Evelyn berkacak pinggang “Lo bilang apa tadi? Nenek lampir? Gue nenek lampir?”

“Terus.. mau apa? Penyihir?” Ucap Leon, tanpa rasa bersalah.

Evelyn menggulung bibirnya, lalu mengepal tangannya seperti ingin memukul Leon. Sayangnya ia tak bisa melakukannya karena menghormati Leon.

“Gue jejelin kodok juga anda ini!”

Naren tiba menghampiri mereka sambil menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangannya seperti berkata ‘jangan’.

“Kalau lo jejelin dia kodok, nanti dia kabur keliling dunia sampai ga balik-balik 2 tahun tanpa berkabar terus siapa yang repot? Gue!” Ucapnya menunjuk diri.

“Iya, kah? Coba ah nanti!” Girangnya “Dasar penistaan ini” Ucap Leon, yang pergi ketakutan.

“Datang tak diundang, pulang tak diantar” Ucap Naren “Siapa lagi kalau bukan Leon” Lanjut Evelyn.

Naren menatap manik mata Evelyn dan langsung terpana “Apa!” Galak Evelyn yang sadar.

“Eh, by the way lo beneran jadi balapan malam ini? Bukannya lo dan Malvin tunangan malam ini?” Tanya Naren.

“Enggak! Gue undur, sampai gue mau publish keluarga gue”

“Begitu rupanya, selamat!” Ucap Naren, menyelamati pertunangan Malvin dan Evelyn.

Suara teriakan yang begitu memekik telinga terdengar ke seluruh penjuru sekolah. Para murid beserta guru menghampiri sumber suara, mendapati seseorang yang sudah terkapar tak sadarkan diri dengan berlumuran darah di lapangan sekolah.

Naren menutupi pandangan Evelyn. Ia pun menyingkirkan tangan tersebut, untuk melihat sendiri apa yang terjadi. Darah segar yang masih mengalir keluar, membuat Evelyn menelan saliva nya. Dari banyaknya darah yang ia lihat semasa hidup, ini yang pertama yang membuatnya ketakutan.

“Pembunuhan, ini jelas pembunuhan!” Teriak Delvan.

Volgende Leven || Nct & Arin(OMG) [ON GOING] ✓Where stories live. Discover now