Bab 08.

73.3K 5.8K 21
                                    

Maafin aku kalo ucap janji pernikahannya salah, soalnya aku islam jadi enggak ngerti soal pernikahan nonis.

~Vote dong~

Sepasang pengantin dengan visual luar biasa sedang berdiri di atas altar sebuah gedung yang disulap menjadi tempat untuk melaksanakan pernikahan. Sepasang pengantin yang tak lain adalah Viana dan Abimana itu saling bertatap dengan senyum tersungging di bibir mereka.

"Saudara Abimana Aniba Adhias, bersediakah engkau untuk menjadikan Viana Chintia Dirham sebagai pendamping hidup, baik dalam keadaan suka maupun duka, senang maupun susah, sakit ataupun sehat. Dan bersediakah engkau menerima anak yang akan lahir dengan cinta dan kasih sayang?" ucap pendeta memulai pengikatan janji pernikahan.

"Saya bersedia menjadikan Viana Chintia Dirham, sebagai pendamping hidup saya, baik dalam keadaan suka maupun duka, senang maupun susah, sakit ataupun sehat. Dan saya bersedia menerima anak yang akan lahir dengan cinta dan kasih sayang," ujar Abimana tegas.

Setelah mempelai pria mengucapkan janji dengan yakin, pendeta beralih menatap ke arah Viana. "Saudari Viana Chintia Dirham, bersediakah engkau untuk menjadikan Abimana Aniba Adhias sebagai pendamping hidup, baik dalam keadaan suka maupun duka, senang maupun susah, sakit ataupun sehat. Dan bersediakah engkau menerima anak yang akan lahir dengan cinta dan kasih sayang?"

"Saya bersedia menjadikan Abimana Aniba Adhias sebagai pendamping hidup saya, baik dalam keadaan suka maupun duka, senang maupun susah, sakit ataupun sehat. Dan saya bersedia menerima anak yang akan lahir dengan cinta dan kasih sayang."

Tepat setelah mengatakan itu, air mata milik Viana lolos begitu saja. Air mata itu bukan air mata kesedihan, melainkan air mata penuh haru yang dibalut kebahagiaan. Ia tidak percaya ia akan menikah di umur yang ke-19 tahun, karena nyatanya umur Diana hanyalah terpaut 1 tahun dari umur Viana asli, yang berarti dia menikah di umur yang ke-19 tahun.

"Baiklah, sekarang kalian resmi menjadi suami istri. Selanjutnya kalian dipersilakan untuk bertukar cincin," ujar pendeta itu.

Secara tiba-tiba, Viana menjatuhkan lututnya ke lantai altar sehingga tinggi tubuhnya hampir sejajar dengan Abimana. Seluruh saksi pernikahan itu terenyuh saat melihat senyum manis sang mempelai wanita. Tidak ada raut kesedihan di wajah gadis itu, hanya ada bibir tersenyum penuh kegembiraan meski tahu jika pria yang akan menjadi suaminya adalah seorang yang cacat.

Abimana segera mengisi jari manis dari gadis yang ada di depannya dengan cincin pernikahan, begitupun dengan Viana. Sejenak mereka saling bertatapan sebelum instruksi dari pendeta mampu membuat mereka tersipu malu.

"Setelah pertukaran cincin, pasangan dipersilakan untuk berciuman, sebagai tanda jika pernikahan kalian sudah sah secara hukum dan agama."

Para saksi sontak menampilkan wajah gembira, beberapa dari mereka tertawa ketika melihat wajah malu-malu dari kedua mempelai. "Cium! Cium! Cium!" Mereka berteriak sembari bersorak membuat wajah Viana semakin panas.

Abimana tersenyum hangat, kedua tangannya terangkat untuk membuka kain tipis yang menutup wajah Viana. Setelah kain itu tersingkap ke atas kepala, dengan malu-malu Viana mendekatkan wajahnya ke wajah Abimana, hingga beberapa detik kemudian terjadilah kecupan singkat antara bibir tipis milik Viana dan bibir tebal milik Abimana. Hanya kecupan singkat, tidak ada lumatan.

"Selamat, kalian telah sah menjadi sepasang suami istri," seru pendeta itu.

Para saksi bersorak sembari bertepuk tangan. Banyak juga dari mereka yang melantunkan doa supaya pernikahan dari kedua mempelai selalu harmonis dan diliputi kebahagiaan. Pemandangan yang riuh penuh kegembiraan itu sangat jauh meleset dari dugaan Viana yang mengira bahwa acara pernikahannya akan terlihat membosankan.

~o0o~

Bibir Viana menganga saat melihat mansion tempat tinggal milik pria yang sudah sah menjadi suaminya. Bukan karena ukuran mansion yang teramat besar, tetapi karena lingkungan dan bentuk mansion itu sendiri.

"Mengerikan," gumam Viana.

Bentuk dari mansion yang ada di depannya terlihat mengerikan dengan suasana suram dan warna mansion yang terkesan gelap. Ditambah lagi mansion mengerikan itu terletak pinggiran kota, bahkan sudah memasuki hutan.

Tetapi mansion itu terlihat cukup ramai dengan beberapa pelayan berlalu lalang serta tukang kebun yang membersihkan rerumputan serta memotong beberapa pepohonan yang sekiranya panjang.

"Apakah ini benar-benar mansion punyamu?" tanya Viana pada sangat suami yang sedang duduk di kursi roda di depannya.

Abimana mengangguk sekilas. "Iya, ini mansionku. Aku memang tinggal di sini karena keinginan ayahku," ungkap pria itu.

"Di tengah hutan?" Viana menatap rambut hitam legam milik suaminya.

"Benar," sahutnya.

"Kenapa?"

"Mereka bilang aku adalah aib, penyebabnya karena kondisi aku yang seperti sekarang," jelas Abimana terlihat tak peduli.

Viana cukup prihatin saat mendengarnya, tetapi ia lebih memilih ber-oh ria kemudian lanjut mendorong kursi roda suaminya masuk ke kawasan mansion. Kaki dan kursi roda itu terus bergerak hingga perlahan memasuki pintu. Beberapa pelayan datang menghampiri mereka.

"Selamat datang tuan dan nyonya," sapa pelayan itu.

Viana tersenyum lembut. "Ya, terima kasih," balasnya. Sedangkan Abimana tidak mengatakan apa-apa. Raut wajahnya terkesan cuek dan datar.

"Nyonya perlu arahan menuju kamar? Jika perlu, aku akan membantu," usul pelayan itu.

"Ten-"

"Tidak perlu, dia akan masuk bersamaku," ucap Abimana, memotong perkataan sang istri yang hendak menyetujui usulan dari sang pelayan.

"Baiklah tuan, kalau begitu saya permisi," pamit pelayan itu.

"Kenapa kamu menolak diantar pelayan itu?" tanya Viana.

"Tidak apa-apa. Lebih baik kita langsung masuk saja."

"Baiklah." Viana segera mendorong kursi roda itu. Mata gadis itu melihat ke arah sekeliling seiring dengan langkah kakinya yang membawa masuk semakin dalam.

"Di mana kamarmu?" Tanya Viana.

"Bisa sebutkan kita sedang ada di mana? Mataku tidak bisa melihat karena minim cahaya," ujar Abimana.

Viana menatap sekitar tempat mereka berdiam. "Em, baiklah. Kita saat ini ada di antara dua lorong. Dan..." Mata gadis itu mendongak, matanya mulai terfokus pada satu titik yang berada tepat di depan mereka, sebuah lukisan seorang wanita yang tampak berumur namun cantik. "...Di depan kita ada lukisan seorang wanita cantik."

Akibat ucapannya itu, Abimana diam-dian tersenyum tipis. "Hm, dia adalah ibuku." Jika dilihat lebih teliti, ada segurat kesedihan yang terselip di wajah pria itu.

"Benarkah? Cantik sekali. Aku menjadi tidak heran mengapa kau sangat tampan," seru Viana terdengar sangat antusias. Ia tidak menyadari jika ucapannya itu baru saja memunculkan rasa menggelitik di hati Abimana.

Bersambung...

Yang mau gabung grub WA komunitas WP, chat ya

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Where stories live. Discover now