11. Doa Kami

145 17 7
                                    

"Tidak ada apa-apa di sana, dan ini sudah sore," kilah Raja, sepertnya ia sedikit malas untuk melakukan perjalanan lagi.

"Ada harta kerajaan yang ingin aku tunjukan padamu."

"Benarkah?" tanyanya penasaran. Bahkan terkesan antusias.

Tanpa ba-bi-bu, perjalanan dilanjutkan.

Namun sebelum itu, kami berhenti sejenak di sebuah toko dekat kedai. Raja menyuruhku untuk tetap di atas kuda, dengan dia turun dan masuk dalam toko untuk beberapa saat. Setelah menyelesaikan urusanya, ia berjalan kembali padaku membawa buntalan besar berbulu yang aku ketahui adalah jaket kulit yang cukup tebal.

"Ini dari kulit beruang gunung albino. Pakailah suapaya kau hangat."

Namun anehnya, jaket itu tidak lebih hangat dibandingkan dengan perhatiannya padaku.

Petang mulai merambati wilayah kami. Pasar-pasar mulai sepi. Orang-orang bergegas pulang ke rumah untuk menghangatkan diri. Sedang kami, melanjutkan perjalanan untuk ke perbatasan yang dijanjikan.

Semakin kami mendekati perbatasan, semakin jarang terlihat rumah mewah seperti yang kami temui di pusat kota. Lebih banyak terlihat rumah petak kecil dan kumuh, bahkan orang-orang yang berkerumun tanpa ada atap yang menaungi. Membakar kayu untuk menghangatkan diri. Walau tidak ada sumber makanan apa-apa di hadapan mereka.

Lebih dari itu, banyak anak balita yang mengais dipelukan ibu mereka. Anak-anak yang rewel karena lapar. Orang-orang yang tidak punya rumah. Bahkan ketika kami lewat, ada yang masih sempat meminta-minta walau sudah malam hari. Aku menunggu, tindakan apa yang akan Raja lakukan untuk mereka yang tengah mengemis padanya kini. Namun yang aku lihat, Raja hanya melewatinya tanpa peduli.

Ini mengingatkaku pada An Yize. Beberapa kali aku mendapati dia sengaja menjatuhkan uang receh kembalian dari rokok yang ia beli, tanpa ia pungut lagi dari jalan. Sekali dua kali, aku pikir dia tidak sadar uangnya jatuh. Namun itu terus terjadi selama kami berkencan.

"Kenapa kau sering sekali menjatuhkan uangmu?" Aku hampir mengutnya, kalau saja dia tidak mencegahku.

"Karena itu akan memberikan keberuntungan bagi yang menemukannya."

Itu adalah caranya untuk memberi, tanpa siapa pun mengetahui.

Melihat Raja yang kini berada di belakangku, dengan paras identik namun tabiat yang berbeda, membuatku merasa kecewa. Rasa kemanusiaan yang tinggi yang dimiliki An Yize telah sampai ke hatiku, bahkan secara tidak sengaja menjadi pembelajaran hidup bagiku. Kini dipatahkan oleh orang yang memiliki wajah yang sama dalam karakter yang berbeda.

Kami naik ke Menara dengan susah payah. Lebih tepatnya aku. Teralu banyak anak tangga, tapi terlalu sedikit udara yang masuk ke paru-paruku. Membuat Raja harus menggendongku untuk kami dapat sampai ke puncak Menara.

"Aku sudah mengatakan, ini akan sulit bagimu."

Ia menurunkanku dari gendongannya saat kami telah sampai di atas.

"lihatlah!" kata Raja. Udara sangat dingin, namun Raja telah membelikanku jaket bulu tambahan saat diperjalanan tadi. Membuatku sedikit lebih hangat dari sebelumnya.

"Aku tidak pernah mengira, bahwa istanaku terlihat sangat indah dari sini."

Sejujurnya aku sedikit kecewa dengan pemandangan di depanku kini. Istana memang terlihat megah dan sangat indah. Namun sangat kontras dengan pemandangan di luar istana yang hampir tidak banyak obor yang menyala di rumah-rumah. Padahal cuaca sedang dingin.

Namun seperti apa yang kuperkirakan, Raja hanya memandang istananya saja, tanpa melihat kondisi rakyatnya yang menderita. Aku ingin menyatakan pendapatku, namun aku tahu, Yang Mulia tidak akan semudah itu mau terima dengan kejujuran yang ingin aku nyatakan.

Lalu aku melihat keindahan yang lain. Langit malam, bulan, dan bintang yang semerbak indahnya. Malam ini sedang cerah, dan kami dapat menyaksikan tiap bintang yang masih dapat memerkan cahayanya ke makhluk bumi. Pijaran-pijaran yang terlihat cantik dan menawan.

"Kau percaya pada kerajaan laingit Yang Mulia?" tanyaku.

"Tentu, mereka ada untuk melindungi kita," jawabnya. Ia menggungkapkan kepercayaannya pada Dewa-nya.

"Iya. Sekarang lihatlah perbedaan antara kerajaan langit, dan kerajaan kita." Aku mengarahkan tangan kosongku ke atas seolah tengah melukis di udara kosong.

Ia melihat tindakanku, dan menganalisis sejenak. Melihat antara istana megah miliknya, dan jutaan bintang dan bulan yang ada di langit malam.

"Istanaku terlihat lebih megah," kesimpulan Raja.

"Benar sekali," kataku setuju. Seperti mengajari anak TK. "Lalu bagaimana dengan kerajaan langit," tanyaku lagi.

Ia berpikir lagi. Lalu segera menjawab, "Seluruhnya terlihat indah."

"Kau benar lagi," ujarku. Dia terlihat senang dengan persetujuanku terhadap pendapatnya.

Lalu aku melanjutkan.

"Dikatakan, kemakmuran sebuah kerajaan tercermin dari rakyatnya. Kau bisa melihat pancaran sinar bintang yang merata di langit, adalah tanda setiap rakyatnya telah menerima hak mereka secara merata."

Ia terlihat tidak senang dengan apa yang baru saja aku katakan. Sepertinya ia mulai sadar akan ke mana arah pembicaraan kami.

"Lalu, apa yang kau lihat di perbatasan kerajaan kita yang mulia?"

Ia terdiam. Lebih tepatnya tidak ingin menjawab.

"Kegelapan total. Kelaparan, kemiskinan," penegasanku.

"Kau ingin menyalahkanku atas semua yang kau sebutkan tadi?" tanyanya, tidak terima.

"Aku hanya ingin mengatakan sesuatu tenatang apa yang ada di depanmu kini, semuanya adalah milik Yang Mulia. Bukan hanya istana saja Yang Mulia. Semua yang terlihat di bawah sana, adalah milik Anda. Saya membayangkan, bila keindahan yang kita lihat ini seperti apa yang dimiliki kerajaan langit. Bila perbatasan yang gelap dan kumuh itu dapat seindah istana yang kita miliki, betapa senangnya hamba dan rakyat Yang Mulia ketika dapat merasakan hidup yang lebih baik pada akhirnya," ujarku. Sebisa mungkin untuk tidak mengguruinya.

Ia merenung sejenak dengan apa yang baru aku sampaikan untuknya.

"Apa kau percaya, bahwa aku mampu membuat kerajaanku lebih terang dari kerajaan langit?" kesimpulannya akhirnya.

Sungguh, aku tersentuh karena dia benar-benar mendengar apa yang aku sampaikan.

"Tentu. Aku percaya, bahkan aku berani memastikan di masa depan, kerajaan kita akan mengalahkan kerajaan langit. Kita akan bersinar lebih terang, hingga cahaya bintang terlihat redup di mata kita."

Aku sungguh-sungguh. Saat lampu sudah ditemukan, era 20xx, kita sudah sangat jarang mampu melihat cahaya bintang dengan mata telanjang.

Ia menatapku, aku menatapnya. Aku memberikan senyum untuknya, menyemangati.

"ini sudah sangat malam. Ayo kita pulang," katanya, seperti masih memendam sejuta angan.

Aku tidak akan menghentikannya. Lebih baik ia mulai memikirkannya, dari pada terus membiarkannya.

Saat melewati pusat kota, ternyata suasananya tidak kunjung sepi. Rupanya besok akan diadakan sebuah festival di alun-alun kota. Semua warga kini tengah repot menyiapkan lampion-lapion di sekitar alun-alun kerajaan. Itu moment yang hebat.

"Besok. Ajak Yi Wei ke acara ini. Bahagiakan dia, tunjukan pesonamu di depannya."

Raja mengangguk dengan bahagia.

Bersambung ....

Kalau ada yang bisa mencapai bab ini. Kalian hebat. 

Bentar lagi tak buat nangis terus guys ... siap-siap.

Mati di Episode Satu (TAMAT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora