Bab 23

5 2 0
                                    

Waktu berlalu cepat.

Musim yang paling ditakuti oleh seluruh siswa SMA 1 Rajawali. Tidak lain adalah seminggu penuh mengerjakan latihan soal sebelum ujian dimulai. Bisa dikatakan bahwa minggu ini adalah minggu penuh penyiksaan, terlebih untuk mereka yang tidak menyukai belajar.

Hal lain yang membuat sebagian besar siswa mengeluh adalah barang bawaan mereka mendadak bertambah dengan tumpukan soal-soal yang harus dikerjakan sebagai bahan pembelajaran menjelang ujian.

Mengantisipasi hal itu, biasanya bendahara kelas menyisihkan uang kas untuk membelikan masing-masing siswa tas dokumen guna menyimpan tumpukan kertas soal. Memang sedikit merepotkan, tetapi dengan tempat penyimpanan terpisah, mereka tidak perlu khawatir perihal kertas yang menghilang, tercampur, atau terselip di dalam buku.

Azka termasuk dalam golongan siswa pintar. Nilainya selalu bagus dan di atas rata-rata sehingga guru yang mendapat jadwal mengajar di kelas mengenal dan menyukainya. Terlebih dia juga memiliki kepribadian yang baik. Guru-guru akan menyukai siswa yang sopan dan mengerti sopan santun.

Kini Azka bersama Alvin dan Darsa melaksanakan belajar kelompok di kafe O'Time. Tidak hanya mereka bertiga, Luthfi pun turut serta. Meski berbeda tingkatan, Luthfi akan berusaha membantu adik-adik kelasnya mengerjakan soal.

Ridwan, yang kebetulan mendapat jadwal bekerja di kafe menatap kelompok Azka tengah belajar bersama kemudian mengulas senyum manis. Tangannya terjulur mengusap pelan rambut Azka dan berkata, “Belajar yang rajin.”

Ucapannya terkesan seperti seorang abang yang menaruh harapan tinggi dan menyemangati adiknya.

Menangkap interaksi mereka berdua, Luthfi tidak bisa menahan tawanya. “Akrab banget kamu sama mereka, Ka.”

Azka tampak tidak peduli. Alvin mengambil alih untuk menjawab. “Soalnya dia kerja paruh waktu di sini, kak. Makanya akrab sama kakak-kakaknya.”

“Oh ya?” Luthfi tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya sampai menutup mulut menggunakan tangan. “Hebat juga ya bisa nyari duit sendiri.” Walaupun ia memiliki kesempatan untuk bekerja paruh waktu, ia tidak yakin bisa membagi waktu antara sekolah dan pekerjaan. Mendengar Azka bekerja dan tetap mempertahankan nilainya itu adalah suatu hal yang patut diapresiasi.

Di sisi lain, Darsa diam-diam memerhatikan Azka yang sedari tadi membisu menatap lembaran soal di atas meja. Fokusnya seolah tengah berkelana ke suatu tempat. Mengerutkan kening heran, Darsa menepuk pelan pundak Azka. “Ka, kenapa?”

“Huh? Gapapa.” Mencoba balik fokus, dalam hati Azka membaca doa kemudian kembali mengerjakan soal seakan tidak terjadi masalah. Namun, Darsa tidak bisa dibohongi. Ia sangat mengenal sifat sahabatnya, begitu pula dengan Azka. Tentu tidak sulit bisa menemukan perbedaan kecil bagi Darsa.

“Jangan bohongi aku, Ka. Aku tahu kamu lagi mikirin sesuatu. Kamu pikir aku gak nyadar?”

Azka membisu. Sungguh, ia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Darsa. Sahabatnya ini sangat peka terhadap orang-orang di sekitarnya. Mengembuskan napas perlahan, tangan Azka dengan teratur merangkai jawaban di atas kertas seraya bertanya, “Aku suka seseorang.”

Tiga kata singkat cukup membuat tiga orang yang duduk di satu meja bersamanya terkejut. Mereka tetap merapatkan bibir menunggu si pembicara melanjutkan omongannya.

“Tapi ada yang gak suka aku deket sama dia dan minta aku jauhin dia.”

Kerutan samar terpancar di kening Alvin. Entah mengapa dia sedikit kesal mendengar penuturan Azka. Mengapa bisa ada seseorang dalam kisah percintaan sahabatnya? Alvin tidak mengatakan apa pun, menunggu Azka selesai bercerita.

[END] Saat Kau di DekatkuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora