00

375 35 3
                                    

Tanah pelin-“ Suaranya tak sampai. Belum sempat gerakannya usai, ia sudah terpental jauh menghantam dinding di belakangnya dengan kuat. Ia meringis sakit, ditambah hantaman yang kembali ia terima usai terjatuh ke permukaan lantai. Darah hampir membasahi sudut bibirnya.

Matanya sayup memandang lurus ke depan. Pandangannya setengah samar. Dia belum boleh terpejam. Dia belum boleh jatuh meninggalkan saudara-saudaranya yang berada di ambang kematian mereka.

Ayo ... Bangun ..., Gempa!

Hatinya mengucap lirih merasakan lara. Kedua tangannya mencoba menumpu badan, perlahan mengangkat tubuh rengkuh itu sedikit demi sedikit. Namun, ia tak cukup kuat untuk mempertahankannya sehingga membuat si empu terjatuh lagi ke lantai.

Badannya mulai lemah, tapi Jantungnya terus berdegup kencang. Ia tak seharusnya bangun lagi sekarang.

Jangan lagi .... Aku mohon ...

Tangannya mengepal. Degup jantungnya tak mau dikendalikan. Deru napas yang berubah cepat, kian membuka jalan pada rasa sakit yang mulai menjalar masuk menjerat paru-parunya.

Sesak yang ia rasa usai mendongakkan kepalanya. Pemandangan seram menyapanya di hadapan. Melihat tali-tali emas dari monster itu perlahan menjerat tubuh saudara-saudaranya yang tergeletak penuh luka dan lemah di hadapannya, membuatnya menatap ngeri.

Lantas monster itu menarik tali-talinya ke atas, menggantung keempat mangsanya.

Kemari semua, kuasa-kuasaku!“ Suaranya dengan lantang menggema, menyambut jeritan kuat keempat mangsa yang ia gantung. Kekuatan mereka diserap paksa oleh si monster.

Tawanya menggelegar memenuhi ruangan tanpa belas kasih.

Kedua mata emas itu memandang dari ujung ruangan. Air matanya mulai menumpuk di pelupuk. Bibirnya mengetap, tak mampu mengucap sepatah katapun. Gempa terdiam tanpa bisa melakukan apapun saat jeritan-jeritan itu terdengar.

Keempat saudaranya meregang nyawa di hadapannya. Tubuh mereka terjatuh lagi ke lantai. Kulit pasi yang perlahan hilang menjadi debu kian membuatnya menangis. Rasa bersalah mulai muncul. Ia mengepalkan tangannya lebih kuat, sembari mengucap lirih pada seseorang sebagai pesan di jam tangannya.

Maaf ... Gempa minta maaf, Ice. Maafkan Gempa, Blaze... Maaf!

Huh?!

Gempa membuka lebar matanya. Padang rumput kosong luas yang ia lihat. Bahunya terangkat begitu ia sadar ia telah bangun dari mimpi buruknya.

Matanya melirik sana-sini, menoleh ke kanan-kiri mencari semua saudaranya berada. Namun, nyatanya kosong. Hanya ia sendirian di bawah pohon di tengah padang rumput luas itu.

"Semuanya mimpi ..., kan?" Gempa berucap lirih di antara desir angin yang mulai menyapa kulitnya.

Gempa mengelus dada. Ia kembali duduk bersandar pada batang pohon besar di belakangnya, lalu menutup matanya rapat. Kedua tangan yang dilipat di depan dada, membuatnya makin lena dalam alunan kersik para ilalang di sekeliling pohon besar itu.

Namun, tak lama kemudian, tidurnya diganggu. Suara yang samar-samar memanggilnya dari kejauhan membuatnya membuka mata lagi. Lena yang terganggu membuatnya mendesah kesal.

“Kak Gempa, Thorn bawa sesuatu untuk kakak!”

“Kak Gempa di mana?”

Tanpa mengubah posisinya, Gempa melirik kanan-kiri, lalu ia menangkap sosok topi hitam yang seolah mengambang di atas ilalang yang menjulang tinggi beberapa meter di depannya.

Together Forever : Save MeWhere stories live. Discover now