01

238 28 2
                                    

Ceklek

"Thorn, cepat bangun! Sarapannya sudah siap sejak tadi!

Blaze datang membawa sapu lidi kasur di tangannya. Langkahnya menghentak kuat di lantai saat mendekati ranjang tidur Thorn, sementara sang tuan pun masih tidur memeluk bantal peluknya dengan erat.

Blaze merungut kesal. Melihat Thorn yang tak memberi respon apapun pada perintahnya, ia sigap memukul sapu lidi kasur yang sedang ia bawa ke selimut yang menutupi kaki Thorn berulang kali.

"Bangun! Bangun! Bangun! Cepat bangun, Thorn!"

Thorn hanya menggeliat kecil. Tangannya menarik kembali selimut yang sudah turun setengah badan darinya sampai ke atas kepala, "Hmm... 5 menit lagi," jawabnya malas-malasan.

Blaze meringis kesal. Tangannya menggenggam sapu lidi kasur yang ia bawa lebih kuat.

.
.

Sementara di lantai bawah, tampak keempat elemental tengah bermain dengan dunia mereka sendiri. Taufan yang bermain game puzzle bersama Solar, Halilintar yang mencuci piring-piring kotor bekas sarapan mereka, Ice yang duduk menonton televisi di ruang keluarga, dan Gempa yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang.

"Kakak, gambarnya berbeda! Bukan yang ini!" Solar melipat kedua tangannya di depan dada. Dahinya berkerut bingung saat Taufan lagi-lagi meletakkan potongan puzzle bergambar itu di tempat yang salah.

"Tapi, di sini benar, kok..." Taufan menyangkal sambil menunjuk gambar puzzle mereka di halaman buku petunjuk.

"Salah, Kak. Harusnya gambar ini yang di sini ..." Solar mengambil beberapa potongan yang lain, lalu memasangnya di tempat yang sebelumnya dicoba oleh Taufan, "... Nah! Baru benar. Setelah itu, baru potongan gambar di tangan Kak Taufan yang ditaruh di sebelah sini," lanjutnya. Ia mengambil potongan puzzle dari tangan Taufan, lalu memasangnya di tempat yang berbeda.

"Oh, baiklah! Ayo lanjut.“

Taufan mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu mengambil beberapa potongan puzzle itu lagi dan memasangnya.

"Jangan salah lagi, Kak..." Solar bermain lagi sambil memberi Taufan peringatan. Dia cukup kesal karena Taufan terus-menerus melakukan kesalahan.

"Iya-iya, tidak lagi, deh."

"Kak Ice mau ikut bermain?" Solar melirik Ice yang sejak tadi diam menikmati acara televisinya.

Ice melirik sejenak, lalu menggeleng. "Tid—"

"Aaa! Jangan, Kak Blaze! Kan, Thorn sudah bangun! Jangan pukul lagi lah!!"

Dari lantai atas, Thorn berlari menuruni anak tangga dengan wajah yang panik dan ketakutan. Jeritannya itu lantas memenuhi ruangan di lantai bawah dan mengambil perhatian dari elemental yang lain.

Di belakangnya ada Blaze yang masih mengangkat sapu lidi kasur yang ia bawa. Blaze terus menebas angin menggunakan sapu lidi itu untuk menakut-nakuti Thorn.

"Makanya bangun!"

"Iya, Thorn sudah bangun, Kak Blaze! Jangan dipukul lagi! Kak Taufan, tolong Thorn!" Thorn sembunyi di belakang Taufan. Wajahnya takut melihat Blaze, tangannya pun menggenggam kedua bahu Taufan.

"Blaze, kenapa kamu bawa sapu lidi?" tanya Taufan.

"Untuk membangunkan Thorn lah! Kak Gempa yang menyuruhku membangunkan Thorn. Dia sendiri yang belum sarapan," jawab Blaze.

Laki-laki bermata merah kuning itu melipat kedua tangannya di depan dada, lalu menatap Thorn yang masih sembunyi.

"Kak Blaze jahat lah! Nakal! Pukul Thorn sesuka hati kakak!" Thorn bangun dari persembunyiannya dan menghentakkan kakinya ke lantai dengan kuat berkali-kali.

"Salahmu sendiri bangun tidur susah."

BUGH

"Aduh! Kenapa, sih, Ice?! Kenapa kamu memukulku?!" Blaze mengelus bekas pukulan Ice di kepalanya. Ia menghentak kesal pada kembarannya yang berbeda sifat itu.

"Jangan asal pukul! Kalau Thorn menangis, kamu yang kena marah. Kak Gem juga tidak pernah memukul saat membangunkan yang lain, termasuk aku," jawabnya.

"Terserah kamu lah." Blaze melangkah pergi dari ruang keluarga, menuju halaman depan rumah.

"Thorn, kamu sarapan dulu. Ada Kak Hali di dapur," ucap Taufan sembari menepuk kepala Thorn.

Thorn mengangguk, lalu berjalan ke arah dapur.

.
.

Gempa baru saja selesai menjemur pakaian yang baru saja dicuci di halaman belakang rumah. Ia membuang air perasan pakaian-pakaian itu ke tanah, lalu meletakkan baskom bekas pakaian yang baru dicuci itu di samping mesin cuci.

Laki-laki bermata emas itu kemudian mencuci tangannya di wastafel yang berdekatan dengan kamar mandi bagian belakang, lalu mengeringkannya menggunakan lap bersih yang sengaja digantung di samping cermin di atas wastafel.

Sejenak Ia melihat dirinya sendiri di depan cermin, lalu berjalan masuk ke dalam rumah melalui pintu dapur yang langsung terhubung ke dalam area dapur.

Gempa melirik kanan-kiri. Halilintar hampir menyelesaikan tugas hariannya yang sengaja diperintah oleh Gempa, lalu ia terdiam saat melihat sosok yang sedari tadi ia tunggu untuk muncul di ruang makan.

"Ah! Bangun juga kamu, ya? Tidur jam berapa semalam, huh?" tegurnya.

Gempa melipat kedua tangannya di depan dada setelah melihat kelibat Thorn di kursi makan.

Thorn yang tengah menyantap hidangan paginya pun tersentak. Mulutnya berhenti mengunyah sarapannya. Ia memalingkan pandangannya ke arah Gempa. Thorn menelan makannya, lalu tersengih malu.

"Jam 1 pagi, Kak. Hehe..."

"Apa? Kamu melakukan apa sampai tidur jam segitu, hah?" Dahi Gempa mengerut. Kedua alisnya menukik ke atas, serta kedua tangannya yang saling menggenggam kedua lengannya dengan kuat itu menandakan kalau ia mulai kesal pada jawaban Thorn.

"Video game Thorn hanya menyisakan beberapa level terakhir semalam, Kak. Jadi, Thorn selesaikan saja sampai akhir," jawab laki-laki berkaus hijau itu sembari menggaruk pipi kirinya.

Gempa berkacak pinggang. Matanya menatap tajam Thorn yang mulai meletakkan sendok garpunya di atas piring. Kedua tangannya pun berada di atas pahanya saling menumpu. Gempa memandangnya dengan amarah yang berusaha ia pendam untuk tidak meledak pada adik yang bisa dibilang sebagai adik kesayangannya itu.

Gempa mendekati Thorn, lalu menyentil dahinya sedikit kuat. "Kalau sekali lagi aku melihat lampu kamarmu menyala di atas jam sembilan malam ini, aku buang video game-mu," ancamnya.

Thorn lantas mengangguk. Ia menatap ngeri kakak ketiganya yang mulai membuat aura gelap.

"Hm..." Gempa memutar bola matanya malas, lalu menoleh ke arah Halilintar yang dari tadi hanya menjadi penonton mereka seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Hali, aku mau ke kamar. Terima kasih sudah membantu mencucikan piring untukku," katanya dengan senyum manis sebelum pergi keluar dari area dapur menuju kamarnya di lantai dua.

Sementara si mata merah Halilintar itu hanya terdiam di depan kabin dapur. Matanya hanya melirik Gempa yang mulai pergi meninggalkan area dapur. Ia terdiam, tampak memikirkan sesuatu sebelum mengambil langkah pergi meninggalkan dapur.

Namun, sebelum ia benar-benar pergi keluar dari dapur, Halilintar sempat menegur Thorn. "Cuci piring kotor-mu sendiri saat sudah selesai."

Setelah itu, Halilintar pergi ke lantai atas.

------
Tbc
Jangan lupa vote dan komen
Thanks(⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)

Together Forever : Save MeWhere stories live. Discover now