"Jadi, ayo kita menikah". Seperti tersedak ludah sendiri, beruntung aku sedang tidak mengonsumsi apapun saat itu.
"Ha-ha-ha. Kamu bisa aja bercandanya. Ha-ha-ha". Aku tertawa awkward mencoba menghilangkan atmosfer aneh disekitar ku.
"Saya...", Dia menggantung kalimatnya lalu mensejajarkan wajahnya sampai aku bisa merasakan hangat nafasnya yang menerpa wajahku. "tidak bercanda. Sesuai janji saya akan bantu mencarikan solusi untuk kamu. Dengan menikah, kita akan sama-sama diuntungkan".
"Kita kan gak saling kenal dan baru bertemu dua kali sementara kamu tiba-tiba udah ngajak nikah duluan. Maksudnya apa?". Tanya ku menginterogasi.
"Ini semua karena masalah kita sama, Bella. Kamu yang diminta untuk segera menikah oleh orang tua kamu begitupun juga dengan saya yang akan mendapatkan masalah kalau tidak menikah dalam waktu dekat", dia menghela sebentar dan bersiap untuk kembali bicara. "Gimana, kamu setuju?".
Aku diam sebentar. Menganalisa apakah pria ini benar-benar serius atau tidak. Karena jika semuanya bercanda, tentu tidak lucu sama sekali. Ingat ya, perkara nikah itu gak bisa dipermainkan meskipun aku tidak diizinkan mama pulang karena belum dapat calon suami pesanannya. Aku akan memilih untuk sewa apartemen sendiri nantinya.
"Tunggu dulu. Aku jadi makin bingung, kita ini baru ketemu, Alden. Dan tiba-tiba kamu ngajak nikah dengan dalih masalah kita sama? Bagaimana aku bisa percaya kamu?". Ucapku lagi yang melipat kedua tangan didepan dada sambil menatap tajam ke arahnya.
"Menikah tidak harus karena cinta, kan? Apalagi kita sama-sama saling tidak menyukai.
Saya cuma butuh status saja. Kalau kamu tertarik dengan penawaran saya, akan saya ceritakan semua masalahnya"."Tapi kenapa harus sama aku? Emang kamu gak punya pacar? Kamu kan pengusaha, masih muda, berbakat, dan gan-gak jelek juga". Sial. Mulut ini. Kalo sekalinya ngomong gak ada rem, hampir aja aku keceplosan untuk mengakui kalau Alden itu memang tampan.
"Saya percaya kamu perempuan baik-baik, yang saya butuhkan cuma kamu".
Deg. Aku bisa merasakan kedua pipiku yang memanas. Seumur hidup, baru kali ini ada pria asing yang membutuhkan ku.
"Jadi gimana? Kalau kamu butuh waktu...".
"Aku anggap kamu gak pernah ngomong kayak gini!". Ucapku tegas memotong kalimat Alden dan segara bangkit dari tempat duduk beranjak untuk meninggalkannya. Dasar buaya gila!
"Bella tunggu!". Tukasnya cepat dan langsung menghadang jalan ku yang hampir saja menabrak dada nya.
Aku menatap dengan sorot mata tajam sementara dia memasang wajah melas membuatku tak tega. Oh Tuhan, apalagi ini?
"Tunggu sebentar". Katanya lagi yang masih ada dihadapan ku. Dengan segera ia berlari mendekat ke arah seorang waiters yang berdiri tak jauh dari tempat kami. Entah apa maksudnya, aku tidak tahu.
Aku masih menatapnya yang tak lama kemudian kembali berlari ke arah ku dengan secarik kertas kecil yang ada di tangannya. "Kalau kamu setuju dan tertarik dengan penawaran saya, kamu bisa cari saya kesini. Saya butuh kamu secepatnya". Dia tersenyum menyerahkan kertas tersebut padaku. Ternyata dia lari-larian cuma buat nyatet nomor kamarnya, toh. Oh yayaya. Emang buaya selalu ada aja akalnya.
AUTHOR POV
Jam dinding dikamar hotel sudah menunjukkan pukul 01:50 sementara Bella masih sibuk bergelut dengan pikirannya, bersama dengan beberapa botol wine yang menemaninya malam itu. Meski seorang dokter yang paham tentang kesehatan, tak jarang kalau sedang merasa stress dia akan melampiaskan semuanya ke minuman. Menurut Bella, itu adalah sesuatu yang membuatnya lebih tenang dan relaks saat dunia sedang tak berpihak padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Try To Love You
General FictionCerita tentang seorang dokter bernama Isabella Maheswari yang usianya sudah menginjak awal kepala tiga beberapa bulan lalu, saat itu hidupnya selalu penuh dengan masalah karena kedua orangtua yang tak henti-hentinya menuntut sang anak agar segera me...