1. Pindah Kamar

60 3 0
                                    

Aku masih menekuni komputer lipatku, ketika Dilla menyenggol lenganku dengan sikunya. Aku menolehnya sebentar. Ia melirik ponselku yang tak jauh darinya. Aku mengabaikannya. Kembali fokus pada apa yang sedang aku kerjakan.

Makalah ini harus selesai mala mini. Abaikan yang lain.

Namun, Dilla lagi-lagi menggangguku. Kali ini ia mengambil ponselku, lalu menunjukkannya tepat di depan wajahku. Mau kesal, tapi urung ketika aku melihat banyak sekali notifikasi yang masuk.

Ponselku bergetar. Dilla mengisyaratkan agar aku menjawab panggilan yang masuk. Nama Mama tertera di sana.

"Hallo, Ma."

"Gia. Kamu ke mana saja? Kenapa chat dan telepon Mama enggak kamu jawab? Kelayapan terus. Pulang!"

Aku menarik napas perlahan sebelum menjawab, Gia masih di rumah Dilla. Sedang ngerjain kerkom. Agak malam pulangnya, Ma."

Tanpa aku sangka, Mama membentak,"Pokoknya pulang sekarang atau jangan sama sekali."

Aku menarik napas lagi. Dilla yang berada di depanku tampak terkejut. Ah, volume suara ponselnya terlalu keras. "Tapi, makalahnya belum selesai. Gia janji langsung pulang. Memangnya ada apa, Ma?"

Kemudian, aku mendengar Mama menjawab dengan nada yang tidak jauh beda dari tadi. Dan sepertinya, aku tidak bisa menyembunyikan raut kaget serta kesal dari Dilla. Sehingga sahabatku ini langsung bertanya sesaat aku mengakhiri sambungan telepon dengan Mama.

"Ada masalah?" tanya Dilla.

Aku mengangguk pelan. Malas untuk menjelaskan apa yang terjadi. Dilla tidak lagi bertanya. Ia membantuku membereskan barang-barangku. Akan tetapi, aku tahu dari sorot matanya kalau ia khawatir padaku.

"Sisakan saja bagianku. Nanti di rumah aku selesaikan. Aku janji besok siang sudah siap dikumpulkan," ucapku sebelum pamitan.

Dilla mengangguk. "Hati-hati di jalan. Jangan ngebut."

Aku pun segera menuju garasi rumah Dilla. Di sana terparkir sepeda motor kesayanganku. Sudah cukup malam. Jalanan tidak macet dan tidak pula lengang.

Tidak perlu lama untuk aku sampai di rumah.

Pemandangan pertama yang menyambutku ketika masuk ke dalam disambut dengan tumpukan barang. Awalnya, aku kaget. Namun setelah menemukan sosok kakak laki-lakiku berserta istrinya, aku paham.

Aku menghela napas. Berjalan menuju ruang tengah. Tujuanku dapur. Tenggorokanku kering. Tanganku sudah terulur hendak mengambil gelas di rak, tapi Mama malah menarikku ke kamar.

"Bereskan!"

Aku mematung. Otakku sedang mencerna ucapan Mama. "Apa yang dibereskan?" tanyaku, menatap Mama.

Mama balas menatapku tajam. "Pindahkan semua barang kamu ke kamar belakang. Kamar ini mau di tempati Zio," ucap Mama. "Kamu itu suka sekali pulang malam. Alasan kerja kelompoklah. Makalah-lah. Harusnya kalau orang tua mengirim pesan atau menelepon itu segera dijawab. Bikin kesal saja," omel Mama.

Hatiku mencelos. Apa aku terlihat bohong? Pulang malam bukan tanpa alasan.

Mama meninggalkanku yang masih berdiri di ambang pintu. Dan aku pun masih enggan menuruti ucapan Mama. Ini kamarku. Sekarang aku harus pindah secara tiba-tiba ke kamar belakang. Oh, yang benar saja!

Aku menyusul Mama yang sedang membantu Kak Reno—kakak laki-lakiku. Aku tidak mau pindah kamar. Apalagi mendadak seperti ini. Tugasku masih banyak. aku juga sangat lelah. Hanya ingin merebahkan diri di atas kasurku yang empuk. Terdengar nyaman, bukan?

Kedatanganku di ruang tamu disambut tatapan tidak ramah dari iparku. Aku tak peduli. Sekarang yang terpenting harus mengutarakan keberatan pada Mama.

"Ma. Aku enggak mau pindah,"ujarku. "Kamar belakang kan dipakai gudang. Masa aku tidur di sana?"

Untaian LaraWhere stories live. Discover now