4. Di mana Kuncinya?

12 2 0
                                    

Senja hampir usai. Cahaya oranye itu mulai sirna. Aku masih berdiri di teras. Lampu rumah padam. Artinya kosong. Bukan itu masalahnya. Justru aku senang kalau tidak ada siapa pun di dalam.

"Di bawah pot mana lagi?" gerutuku.

Mataku meneliti ke deretan pot yang berjajar di halaman serta teras. Sudah semua aku periksa. Namun kunci rumah tak kunjung kutemukan. Kebiasaan keluargaku memang seperti itu. Menyimpan kunci rumah di bawah pot bunga.

Sudah hampir magrib. Aku mulai kesal. Apa aku obrak-abrik saja sekalian? Aku menggeleng. Menepis ide gila yang kalau dilakukan justru akan menyeretku ke dalam masalah. Mama murka.

Aku menyerah.

Ponselku hampir kehabisan baterai. Sebenarnya, aku punya kunci serep. Tapi, sialnya tertinggal. Waktu berangkat tadi memang terburu-buru. Aku juga tidak menyangka jika semua anggota keluargaku tidak ada di rumah.

Usahaku bukan hanya mencari kunci saja, tapi mengirimkan pesan di grup keluarga. Serta beberapa kali menelepon Mama. Dan siapa sangka justru aku akan dimarahi atas kesalahan yang tidak aku perbuat.

"Maaf, Gia. Kunci rumahnya kakak bawa. Enggak sengaja."

Apanya yang tidak sengaja? Kakak iparku ini sangat pandai bersandiwara. Ia tahu pasti jika kebiasaan kami yang selalu meninggalkan kunci rumah di bawah pot bunga mawar depan teras, di baris kiri dekat rak sepatu.

"Pasti sengaja,"gumamku sembari mencengkram batang bunga mawar hingga patah.

Aku tak peduli jika nanti Mama Marah. Aku akan beralasan kesenggol atau apa saja. Terpenting untuk saat ini amarahku bisa dilampiaskan. Walaupun itu bukan tindakan yang benar.

Sebelum baterai ponselku benar-benar habis, aku menelepon Dilla.

"Hallo, Dilla."

"Ada apa? Barangmu ada yang ketinggalan?" tanyanya dari seberang sana.

Aku meringis. Dilla hafal benar kebiasaan burukku yang selalu lupa atau meninggalkan sesuatu. "Bukan. Aku boleh menginap di rumah kamu buat malam ini saja?"

"Waduh. Bukannya enggak boleh, tapi aku sedang di rumah sakit," jawabnya yang membuatku terkejut.

"Siapa yang sakit?" tanyaku.

"Nenek masuk rumah sakit. Kena komplikasi. Maklum sudah lanjut usia," jelasnya. "Kenapa mau nginep? Dikunciin di luar?" tanyanya yang terdengar sangat penasaran.

Tebakan Dilla hampir benar. Aku menarik napas sebelum menjawab pertanyaannya. "Kuncinya kebawa Kak Ima."

"Ah, itu pasti cuma alasan dia saja. Disengaja. Terus, kamu masih belum bisa masuk ke rumah?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk—padahal Dilla tidak akan melihatnya. "Belum. Apa aku pecahkan saja kaca dapur? Atau dobrak saja pintu samping?"

"Terdengar seru, tapi itu ide buruk," ujarnya. "Selain menimbulkan keributan, kamu juga bisa kena marah. Plus, sejak kapan kamu punya kekuatan sebesar itu. Perasaan angkat sofa di rumah aku saja enggak mungkin bisa."

Aku meringis untuk yang kedua kalinya. "Betul juga. Terus, masa aku haru ngeronda?" ucapku hampir putus asa.

"Coba kamu minta bantuan tetangga buat congkel jendela atau pintu. Urusan dimarahi enggak akan seburuk mecahin kaca," usulnya.

Terdengar lebih masuk akal. Aku pun bergegas menuju rumah Bu Ani yang berada tepat di depan rumah. Rasa sungkan menyelinap, tapi aku tidak mau tidur di luar. Maka, aku mengetuk pintu rumahnya perlahan.

Untaian LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang