2. Uang Ujian

16 1 0
                                    

Resah. Aku bolak-balik melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Lalu, pindah ke ponsel. Nihil. Taka da satu pun pesan jawaban dari Mama. Aku pun menelepon Mama sekali lagi. Hasilnya tetap sama.

Aku berjalan mondar-mandir. Mengabaikan tatapan dari beberapa orang mahasiswa di dekatku. Bisa aku dengar juga jika mereka mencibirku. Siapa peduli?

Tak sabar lagi menunggu, aku pun pulang. Jam kuliah selanjutnya masih lama. Ditambah jarak antara rumah dan kampusku tidaklah terlalu jauh. Sehingga aku bisa menyempatkan diri untuk pulang. Tidak bisa hanya menunggu saja.

Aku harus bertemu Mama.

Namun, rasa kecewa harus aku telan. Rumah kosong. Lagi-lagi seperti ini. Sekali lagi aku menelepon Mama. Masih tetap sama. Aku pun pasrah. Duduk di teras.

Tiba-tiba mobil kakakku datang. Aku segera berdiri. Apa kak Reno tidak pergi kerja?

Aku baru paham, kenapa Mama tidak menjawab semua pesan dan telepon dariku. Karena Mama sedang bersama kakak dan kakak iparku serta keponakanku juga. Harusnya aku sudah bisa menebaknya.

Aku berjalan mendekati Mama yang baru saja turun dari mobil. Belum sempat aku berbicara, Mama sudah mengisyaratkan agar aku ikut membantu menurunkan barang belanjaan dari dalam mobil.

Tak bisa menolak.

Semua barang belanjaan sudah berada di ruang keluarga. Banyak sekali. Apa aka nada pesta? Aku meneliti ke dalam bungkusan. Sepertinya, iya.

Mama sedang di dapur. Memasukan sayuran dan beberapa frozen food ke dalam kulkas. Aku mendekatinya. Sudah tidak ada waktu lagi. Sekarang saat yang tepat untuk bertanya.

"Ma. Uang untuk ujian akhir semester belum ditransfer?"

Mama tidak menjawab. Sibuk dengan tumpukan makanan. Aku pun mengulang pertanyaan.

"Uangnya belum ditransfer? Atau Mama mau ngasih uang tunai?"

Mama berdiri. Menatapku tajam. "Kamu itu bersisik sekali. Uang saja terus. Kemarin kan sudah. Uang buat apalagi?"

Aku menarik napas sebelum menjawab, "Kemarin uang praktek. Sekarang buat bayar uang ujian akhir semester, Ma. Uangnya sudah ada kan?"

Mama melengos. Berjalan menuju ruang keluarga. Aku mengikutinya.

"Enggak ada. Sudah dibelikan ini semua."

Aku menganga mendengar jawaban Mama. "Loh? Bukannya kemari aku sudah bilang ke Mama kalau harus hari ini terakhir untuk bayar uang ujiannya, Ma."

Mama mengambil plastik belanjaan dan membawanya ke kamar Zio. Aku tetap membuntutinya. Tidak bisa seperti ini. Aku harus dapatkan uang itu. Mama sudah janji.

Mama berbalik, Setelah meletakkan plastic belanjaan tersebut. Aku yang berada di belakangnya langsung disuruh minggir. Karena menghalangi jalan Mama.

"Itu terserah kamu. Tanggung jawab kamu."

"Enggak bisa begitu dong, Ma. Aku uang dari mana?"

Mama duduk di kursi ruang tengah. Akau berdiri di sampingnya. Usahaku harus berhasil. Pokoknya aku harus ikut ujian.

"Dari dulu Mama enggak pernah setuju kamu kuliah. Buat apa? Buang-buang duit saja," ucapan Mama ini seperti jarum yang menusuk ke ulu hatiku.

"Tapi Papa bilang boleh. Lagi pula kan kemarin Mama blang uangnya sudah ada. Tapi aku lupa nanya. Sekarang batas terakhir buat bayarnya. Masa enggak ada?" ucapku yang mendapat delikan tajam Mama.

"Apa kamu buta? Lihat itu. Uangnya sudah dibelikan keperluan pesta ulang tahun Zio."

Emosiku merangkak naik. "Mama itu bagaimana? Itu kan uang buat kuliah aku? Kenapa dipakai buat pesta ulang tahun Zio segala? Harusnya Kak Reno yang tanggungjawab dong."

Untaian LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang