3. Sepatu

19 3 0
                                    

Seminggu berlalu. Utangku pada Dilla masih belum terbayarkan. Aku bingung. Uang hasil penjualan novel dan buku koleksiku belum bisa menutupinya. Meski Dilla sama sekali tidak mengungkitnya. Namun, bukan berarti aku bisa melupakan kewajiban aku itu.

Mencari kerja paruh waktu juga tidak semudah menjentikkan jari. Aku sudah meminta bantuan dari beberapa teman dan kenalan. Bahkan mencari lowongan kerja secara daring pun aku lakukan.

Berhasil. Ada beberapa yang bisa aku kerjakan dari rumah. Akan tetapi, upahnya masih terbilang sedikit dan itu tidak cukup untuk membayar utang. Ditambah keperluan ini tu. Aku tidak berani lagi meminta uang pada Mama.

Pagi ini aku sendirian di rumah. Kuliah siang. Tiba-tiba ada kurir paket yang mengantarkan bingkisan untukku. Itu dari Aini, teman SMA dulu. Lusa ia menikah.

Ternyata Aini masih ingat aku, walaupun kami jarang bertemu. Hanya berbalas pesan atau teleponan. Karena kesibukan masing-masing. Ia mengirimiku baju Bridesmaids dan sepasang sepatu untuk kupakai di hari bahagianya.

"Cantik sekali," ucapku ketika melihat sepatu pemberian Aini.

Dalam hati aku sangat bersyukur. Aini memberikan barang yang sangat aku butuhkan. Tadinya, aku sudah bingung akan memakai sepatu apa ke pernikahannya nanti. Dan sekarang aku memilikinya.

Sepasang sepatu berbahan brokat berhiaskan mute, berwarna senanda dengan bajunya. Baby pink.

Saking senangnya, aku bersenandung saat mencoba baju dan sepatu ini. Beberapa kali mematut bayanganku di cermin. Serta aku pun berjalan lenggak-lenggok nak model di peragaan busana. Serta tidak lupa aku melakukan swafoto. Bukan untuk dipajang di akun media sosialku. Hanya konsumsi pribadi.

Merasa puas, aku segera mengganti baju. Lagi pula jadwal kuliah siang sebentar lagi dimulai. Sedikit terburu-buru aku keluar dari rumah. Sudah menjadi kebiasaanku yang datang mepet ke waktu masuk.

Sialnya, aku lupa kalau motorku belum diisi bensin. Semoga saja tidak harus mengantri waktu di pom bensin nanti. Sayang, ketakutanku malah terjadi. Kendaraan mengular panjang sampai ke jalan.

Tiga puluh menit. Aku terlambat masuk kelas. Saat ini keberuntunganku sedang baik karena dosen yang mengajar telat datang. Aku duduk di samping Dilla yang terkantuk-kantuk. Sepertinya ia habis bergadang lagi. Kebiasannya itu sulit untuk diubah.

Sehabis kelas. Dilla mengajakku ke rumahnya. Kami punya tugas lagi. Kali ini untuk perseorangan, tapi rumah Dilla memang tempat ternyaman untuk mengerjakannya. Selain full wifi dan Ac, ditambah cemilan yang banyak.

Lewat Isya, aku pamitan. Tugas selesai. Waktunya pulang.

Sepertinya, kesialan tadi siang kembali terulang. Aku menatap tak percaya ke dalam kamarku. Berantakan. Apa ada maling yang masuk? Panik. Aku mengecek barang-barang berhargaku. Semuanya ada, kecuali satu.

"Ma ...."

Mama tak kunjung keluar. Apa suaraku kurang keras. Namun, jika kau menaikan volumenya Mama bisa marah. Aku bergegas ke kamar Mama. Mengetuk pintu perlahan.

Mama keluar dari kamar. Wajahnya tampak tidak sedang. Aku sudah mengganggu tidurnya.

"Apa?' tanya Mama.

"Mama tahu siapa yang masuk ke kamar aku tadi?" tanyaku hati-hati.

"Enggak tau," jawab Mama melengos. Ia hendak masuk lagi ke dalam kamar, tapi aku menahannya.

"Kamar aku berantakan, Ma."

"Kamu saja yang malas membereskannya."

"Enggak, Ma. Aku ingat benar waktu pergi tadi kamar dalam keadaan rapi. Kalau berantakan bisa-bisa kecoa masuk lagi," ujarku bergidik memikirkan makhluk mengerikan itu lagi.

Untaian LaraWhere stories live. Discover now