12

461 89 15
                                    

"Kalian bersyukur pihak keluarga sudah mengerti dan tidak menuntut rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Kalian bersyukur pihak keluarga sudah mengerti dan tidak menuntut rumah sakit." Ucap prof Edi setelah berita di atas keluar.

"Tapi, tetap ada sanksi untuk kalian." lanjutnya.

"Irene, kamu saya pindahkan ke UGD dan Jisoo kamu saya tugaskan ke perbatasan Jordan dan Palestina."

"Sekian. Terima kasih." Lalu Prof Edi melangkah keluar ruang rapat.










******************











Bibit, bebet, bobot? Jisoo juga bibit-bebet-bobotnya tanpa cela, tapi tetap saja ujung-ujungnya bubar karena ia lebih cinta membabat kerjaannya daripada memerhatikan aku, istrinya. Aku sendiri sadar beberapa hari ini setiap kali Mami dan Papi ngobrol dengan Hyunjin, the socalled investigasi bibit-bebet-bobotnya Hyunjin sudah dimulai. Aku tahu persis gelagatnya kedua orangtuaku itu, kalau sudah mulai selidik-selidik begini intinya sebenarnya: "Are you good enough for our daughter? If you are, don't wait too long to ask her hand in marriage." Mami dan Papi mulai nanya-nanya Hyunjin seperti ini berarti mereka sudah mulai mempertimbangkan Hyunjinsebagai calon suamiku. Sementara aku sendiri merasa... ya bukannya aku tidak yakin dengan 3B-nya Hyunjin, dan bukannya aku juga tidak yakin dengan sayangnya ke aku. Tapi untuk mulai berpikir menikah sekarang rasanya terlalu cepat.

Komitmen adalah hal yang lucu, lho? Ini hampir seperti membuat tato. Kamu terus berpikir sebelum kamu mendapatkannya. Dan begitu kamu mendapatkannya, hal itu akan melekat erat dan dalam padamu. Tapi kemudian mungkin kita tiba di satu titik ketika rasanya sangat tidak suka melihat tato itu, dan yang ingin kamu lakukan hanyalah menghilangkannya. Jadi, kamu melakukannya. Dan kamu baik-baik saja tanpa tato untuk sementara waktu.

Tapi bisa aja kan, tiba-tiba kita merasa: kok kayaknya hidup gue polos banget tanpa si tato itu. Ketemu pula dengan tato baru yang oke. Mulai mikir lagi, nato lagi nggak, ya? Banyak orang bilang kalau udah pernah menato sekali, harusnya yang kedua gampang. Toh udah pernah ini. Udah tahu sakitnya, tapi udah ngerasain enaknya juga. Jadi harusnya kalau ketemu tato baru yang oke, ya tinggal dilakukan aja.

But that's where you're wrong. There's always the first tattoo factor. Tato pertama itu akan selalu jadi tato pertama. Yang sebelum ditato butuh waktu lama untuk mikir, waktu mau dihilangkan juga prosesnya susah. Sudah hilang pun, masih ada bekas lukanya juga, kan? Sekecil apa pun, baret itu pasti masih ada. Dan tidak mudah menemukan tato yang bisa menyembunyikan bekas luka itu. Membuatnya tak kasatmata. Membuatku merasa seperti perempuan baru lagi. Bagaimanapun juga, aku adalah barang yang rusak.

"Hei."

Aku menoleh, Hyunjin tersenyum ke arahku. "Hei," aku tersenyum balik.

Ia melepaskan tangannya sesaat dari kemudi, membelai rambutku. "Lagi mikirin apa, Sayang?"

"Nggak mikirin apa-apa."

"Soalnya tadi kamu ngelamun terus gitu."

"Bener, nggak ada apa-apa," aku tersenyum, berusaha meyakinkannya. "Cuma agak-agak capek aja, Hyun. Maaf ya, tadi aku nyuekin kamu, ya?"

Divorce (JenSoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang