Bagian 24: Clue Pieces

642 97 3
                                    

-⚖-

HARI rabu di pertengahan bulan mei SMA Nusantara sudah menjadi hot topic di berbagai media. Selain para polisi yang mendatangi tempat kejadian siswi SMA Nusantara yang diduga suicide, para reporter memenuhi area depan gerbang sejak kemarin malam. Jadi, tidak heran jika hari ini sekolah diliburkan.

Kesempatan libur ini digunakan Adeline untuk menyelidiki sesuatu yang mengganjal hatinya sejak kemarin. Cewek itu berhasil membuat alasan pada papanya untuk keluar rumah hari ini. Untung saja papanya juga sedang sibuk dengan urusannya, jadi tidak terlalu fokus pada apa yang dilakukan Adeline.

Setelah perjalanan yang tidak terlalu lama, Adeline turun dari taxi di sebuah jalan asing. Cewek itu kembali mengecek alamat yang ia catat di ponsel. Fyi, bukan perkara sulit bagi Adeline untuk mencari alamat Wafda.

Adeline mengedarkan matanya. Benar, ia tidak salah alamat. Posisinya sekarang sesuai dengan alamat Wafda tinggal. Setelah memastikan tidak nyasar, entah kenapa Adeline saat ini jadi merasa ragu. Adeline menggelengkan kepalanya. Ia sudah sampai di sini, kenapa pula harus merasa ragu? Tanpa berpikir panjang, Adeline segera melanjutkan langkah menyusuri gang perumahan itu.

Gang yang dilewati Adeline cukup lengang di pagi menjelang siang yang mulai terik ini. Setelah melangkah beberapa meter, Adeline menghentikan langkah di depan rumah yang kemungkinan milik kakak kelas misteriusnya itu.

Adeline masih bertahan di depan gang, hingga pintu rumah mendadak terbuka membuat Adeline buru-buru bersembunyi di balik pagar. Matanya megintip di sela pagar. Ia melihat seorang wanita paruh baya keluar dari rumah itu. Di kedua tangan wanita itu terdapat dua kantung kresek yang entah berisi apa.

Saat wanita itu melangkah menuju tempat sampah besar di tepi jalan, Adeline baru paham apa isi dari dua kresek itu. Cewek itu memutuskan menghampiri si wanita paruh baya setelah si wanita itu membuang sampah.

"Permisi."

"Iya? Siapa ya?"

Adeline menggigit bibirnya. Memutar otak. "Saya dari kota sebelah, mau mencari saudara. Katanya tinggal di rumah ini," jawabnya setelah berpikir cepat.

Si wanita paruh baya mengerutkan dahi. "Saudaranya Neng siapa namanya?"

"Namanya Cahya," jawab Adeline asal.

"Wah ... kayaknya Neng salah alamat. Gak ada yang namanya Cahya di rumah ini."

Adeline mengerutkan dahi, pura-pura bingung lalu menunjukkan alamat di ponselnya. "Tapi saya yakin kok alamatnya di sini."

"Alamatnya sih benar," sahut si wanita paruh baya. "Tapi di rumah ini hanya ditinggali tiga orang. Bu Nita nyonya rumah ini, lalu Wafda anak laki-lakinya, dan saya asisten rumah tangga mereka."

Good. Jadi benar ini rumah Wafda. Meski sudah mengonfirmasi jika Wafa tinggal di rumah ini, Adeline masih belum puas. Ia ingin tahu, bagaimana kehidupan Wafda.

"Begitu ya?" Adeline kembali memutar otak untuk memilih kalimat yang bisa memancing wanita paruh baya yang ternyata ART di rumah tersebut untuk menceritakan lebih detil bagaimana keluarga Wafda. "Memangnya Bibi jadi ART di rumah ini sejak kapan?"

"Sekitar sepuluh atau sebelas bulan," jawabnya tanpa curiga. "Meskipun belum ada setahun saya sudah sangat mengenal---tunggu."

Adeline menatap fokus si ART. Sepertinya pancingannya berhasil.

"Sebenarnya sebelum saya datang, anggota keluarga ini ada tiga. Bu Nita punya dua anak. Satu putra dan satu putri. Namun, putrinya sudah meninggal ketika saya mulai bekerja di sini. Tapi, setahu saya nama putrinya bukan Cahya."

GIUSTIZIAWhere stories live. Discover now