Pada Senja Kemarin

267 40 6
                                    

Senja menutup aplikasi sosial media berlatar hitam dengan sedikit kesal. Sebuah tulisan yang baru saja ia unggah sebagai tempat pelampiasan keresahan hatinya.

Pada senja kemarin, kita masih baik-baik saja. Seperti dua burung kecil yang melayang-layang di angkasa, menikmati hangat surya sebelum kembali ke peraduan. Kita baik-baik saja, sampai sang kala menyembunyikanmu dan kembali tanpa kata.

Sandyakala kembali namun tidak pada Senja. Raganya ada, namun kehangatannya meliar entah ke mana. Terhitung dua hari semenjak ia melihat keberadaan kakak tingkatnya di kampus, namun pemilik mata pekat itu tak kunjung menghubunginya. Pesan terakhir yang Senja kirim pun tak kunjung mendapat balas, seperti dibiarkan terbengkalai begitu saja.

Ada begitu banyak tanya yang sempat mampir di kepalanya. Seperti penuh sesak, saling berdesakan untuk berebut jawab. Tapi kenyataannya, ia harus rela menelan semua rasa penasaran itu. Biar waktu yang memberi jawabannya, ia tak akan mencari dan itu pilihannya.

Hari ini hari Minggu, Senja tengah bersantai di balkon kamarnya. Secara kebetulan, kamar kosnya memang di lantai tiga. Lantai itu hanya dihuni oleh dua orang, miliknya dan milik anak ibu kos yang memang jarang sekali pulang. Senja sengaja bersih-bersih kamar pada hari Sabtu, sehingga ia bisa bersantai di hari Minggu.

Kini, setelah mematikan layar ponselnya, Senja beralih mengambil buku yang sedari tadi ia siapkan. Dibukanya lembar demi lembar buku itu sambil sesekali menikmati pemandangan pagi dari atas balkon kamarnya. Ia bisa melihat pohon jambu air di halaman salah satu warga. Daunnya lebat, begitu pula dengan bunga serta bakal buahnya. Senja bergumam kecil, pasti akan banyak kelelawar yang berkeliaran.

Kicau burung membuatnya menajamkan penglihatan. Di sana, di salah satu dahan pohon, Senja melihat sebuah sarang yang dihuni entah burung jenis apa. Senja sendiri bukanlah orang yang paham dengan jenis-jenis burung, yang ia tahu makhluk kecil itu begitu menggemaskan.

Burung kecil berteriak-teriak seperti memanggil ibunya. Tak lama, satu burung dewasa--yang bisa Senja tebak ia adalah induknya-- datang. Burung dewasa itu mematuk-matuk ke dalam sarang, sebelum akhirnya kembali terbang. Senja tersenyum, burung saja sangat mencintai anak-anaknya. Ia tak akan membiarkan buah hatinya kelaparan di dalam sarang.

Induk burung itu dengan penuh kasih merawat dan menyuapi anak-anaknya tanpa lelah. Meski tahu pada akhirnya ia harus rela melepaskan anak-anaknya begitu mereka bisa terbang. Anak-anak burung yang telah sanggup mengepakkan sayapnya akan menjelajahi semesta sendirian. Sarang yang mulanya hangat itu, kemudian akan terbengkalai, terjatuh atau lenyap terkikis waktu.

Memikirkan kisah burung itu, Senja jadi sedikit teringat dengan kehidupan manusia. Terkadang kehangatan di dalam keluarga akan berkurang jika anak-anak telah pergi dari rumah. Entah untuk menuntut ilmu, bekerja, atau mengejar mimpi yang seluas angkasa. Meja makan yang dikelilingi kursi berpenghuni, satu persatu akan kosong begitu saja. Sedikit pilu, namun begitulah jalannya kehidupan.

Ah, Senja jadi sedikit rindu dengan rumah. Dengan masakan bunda yang kadang keasinan baginya. Dengan keributan kecil antara ia dengan kakak serta adiknya. Kebiasaan kecil berebut kulit tiap kali bunda memasak ayam balado, serta kehangatan lain kala ia masih belia.

Kini kembali pun tak lagi sama. Kakaknya telah bekerja jauh di luar pulau. Ayahnya telah memiliki keluarga baru, hanya tersisa adik dan bundanya di rumah. Bisakah waktu diputar kembali? Di tempat semula kehangatan itu berada.

Niat hati ingin menenangkan diri, otaknya malah berkelana menembus waktu. Buku yang rencananya ingin ia habiskan hari ini, ia taruh kembali di rak kamarnya. Kembali ia ambil ponsel yang tadi ia biarkan tergeletak di meja balkon. Senja menatap nanar pesan yang ia kirim pada Sandyakala. Cukup lama, sampai tangannya tergerak mengetik pesan kepada seseorang.

Sandyakala dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang