Perjalanan Mendekat

166 28 6
                                    

"Kenapa Kak?" Tanya Senja masih tak mengalihkan pandangannya dari semburat merah yang rupawan di ujung barat.

"Kenapa apa?"

"Kenapa diam, sedangkan tadi katanya akan ada banyak hal yang ingin Kak Sandyakala utarakan."

Sandyakala menarik napas dalam, sebelum akhirnya perlahan ia hembuskan. Lekat ia tatap gadis di sampingnya. Detik berikutnya, Sandyakala tersenyum menampilkan lesung pipinya yang memberi kesan semakin manis.

Senja lagi dan lagi terpana akan senyum itu. Ia seperti terbius, tak mampu mengalihkan pandangan dari senyum yang terlampau manis itu. Jika mengagumi Sandyakala dikenakan tarif, mungkin Senja akan menjadi gelandangan karena merelakan yang ia miliki hanya sekadar untuk mengagumi indah senyum Sandyakala.

"Kalau gue bilang gue lagi menghindari dosen karena dikejar skripsi, lo percaya?" Tanya Sandyakala pada akhirnya.

Senja mengangguk perlahan, kemudian menjawab, "Benar atau tidaknya, apa pun yang keluar dari bibir Kakak adalah suatu hal yang ingin Kakak bagi. Dan yang tidak, berarti itu hal pribadi yang belum atau gak bisa Kakak bagi."

"Kenapa Ja?" Kali ini Sandyakala bertanya.

Mentari semakin mengendap di balik cakrawala, seperti membawa serta keping harapan dari manusia. Tentang hari panjang yang melelahkan, tentang mimpi-mimpi yang karam, dan mimpi-mimpi baru yang ingin diperjuangkan.

"Kenapa apa Kak?"

"Kenapa lo sesederhana itu untuk mengiyakan sesuatu?"

"Karena kita gak berhak atas kehendak siapa pun, Kak. Biarpun aku gak percaya kalau itu alasan kakak menghilang, tapi seenggaknya aku bisa berusaha memahami bahwa Kak Sandyakala pergi bukan tanpa alasan."

Jemari Sandyakala tergerak mengusap kepala Senja. Helai lebat yang juga legam itu berkibar diterpa sang bayu. Ada banyak kata yang ingin Sandyakala ucapkan pada Senja, namun tersendat ragu. Ada banyak rasa yang ingin laki-laki itu bagi namun sembunyi jauh lebih baik untuk saat ini.

Sedang Senja masih berkelana di dalam  kepalanya sendiri. Berselancar mencari kata yang tepat untuk diucapkan pada kakak tingkatnya. Mencari frasa yang mampu menyuarakan kegelisahan yang ia pendam.

"Kak ... " Senja pada akhirnya memberanikan diri, "Boleh gak kalau aku minta Kakak untuk ngasih aku kabar meski itu sebuah kebohongan?"

Sandyakala sedikit terkejut mendengar pinta yang gadis itu lontarkan. Baginya, Senja selalu penuh kejutan, penuh keajaiban. Kata yang gadis itu ucapkan tak pernah menjadi sekelebat bayangan yang mampir di kepalanya.

"Kenapa Kak, gak boleh ya? Maaf ... "

"Bukan ... enggak. Gue cuma kaget, Ja. Dengan gue ngilang kemarin pasti bikin lo kecewa ya?"

"Kak, kita emang baru kenal dan rasanya aku gak sedekat itu untuk minta Kak Sandyakala selalu ngabarin aku. Tapi kalau kakak gak ada kabar sama sekali kaya kemarin, aku khawatir Kak. Sekali lagi maaf kalau aku melangkah terlalu jauh."

"Maaf ya Ja udah bikin khawatir. Gue akan usahain untuk berbagi kabar sama lo, dan kalau gue ngilang lagi kaya kemarin, jangan khawatir lagi karena gue pasti balik."

Senja mengangguk, diam-diam ia sedikit menyesal atas apa yang ia ungkapkan. Bagaimana jika Sandyakala merasa risi, bagaimana jika Sandyakala menganggap dirinya kekanakan? Lagi pun, siapa dirinya hingga meminta Sandyakala untuk selalu mengabarinya.

"Kak, kalau gak nyaman Kakak bilang aja. Atau lupain aja apa yang aku omongin tadi," seru Senja menatap netra pekat Sandyakala.

Mendengar hal itu, Sandyakala terkekeh pelan. Entah tawa macam apa, Senja pun tak tahu.

Sandyakala dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang