Dia datang tanpa membawa serta sebuah janji. Tanpa iming-iming ekspektasi mengenai hal yang sering terjadi—ikatan yang mereka sebut sebagai bukti jalinan kasih. Diam ku bukan berarti tak memahami, bahwa di dalam hatinya masih belum siap untuk berbagi. Perasaan-perasaan yang masih tumpang tindih antara maju atau cukup sampai di sini.
Sandyakala, nama itu terus berkeliaran di kepalaku. Semenjak rona merah ikut menjalar di wajahku sore itu. Semenjak pemilik lesung pipi itu membawaku menjelajah senja. Pada semesta, aku tak pernah berani mengumumkan bahwa hatiku telah dicuri olehnya. Hanya pada ruang bernama rahasia, kusimpan namanya rapat-rapat. Meski kutahu bahwa dunia mampu membacanya, melalui bagaimana aku memandangnya. Bagaimana aku menanggapi setiap kalimat yang keluar dari bibirnya. Dengan caraku terus memancarkan cahaya ketika senyumnya merekah.
Di dunia yang penuh sesak ini, menemukan Sandyakala seperti membuka ruang tersendiri di sudut raya. Kita yang duduk dengan sederhana menatap jingga, bertukar cerita, mengabaikan panah yang siap menerjang dari berbagai arah.
Bagi sebagian orang, aku dan Sandyakala seperti senja dan bayangannya di laut lepas yang airnya jernih. Seperti dua senja yang identik, saling berhadapan menyebarkan hangat di tengah dingin yang semakin menjadi.
Namun mereka salah. Aku dan Sandyakala bukan seperti senja yang bercermin pada air laut. Aku bukan bayangannya, pun Sandyakala tak pernah menjadi cerminanku.
Aku adalah senja yang selalu ada di kepala manusia. Senja dengan langit keemasan yang terkadang dibalut biru dengan semburat merah muda. Ditemani semilir bayu yang menciptakan perpaduan hangat dan dingin dalam satu waktu. Ya, senja itu aku.
Sedang dia adalah Sandyakala, waktu di kala langit kemerahan yang terkadang pekat. Sang bayu mulai menghilang namun dingin semakin menyergap. Gelap mulai turun, menyembunyikan ratu hari untuk besok dikembalikan lagi.
Kita seperti dua peristiwa berbeda yang terhubung oleh waktu. Di bumi yang sama kita berpijak, pada udara yang kita bagi bersama, dalam ruang yang kita ciptakan untuk satu sama lain, aku dan Sandyakala masih berdiri di seberang masing-masing.
Sebenarnya ... nama Sandyakala sudah lama magnet tersendiri bagiku. Tak ada yang tahu, bahkan Centa sekalipun. Ya, semenjak sosok yang memiliki pandangan hangat itu mengisi acara ramah tamah, aku telah terpikat padanya.
Sosoknya begitu terang kala itu sampai-sampai aku menjulukinya sebagai Helios, yang begitu gagah memberikan sinar pada kegelapan. Begitulah dia di mataku kala itu.
Namun semenjak pertemuan yang membawanya mengenalku, sebuah tatapan gelisah yang ia tujukan saat pertama kali mendengar namaku, berhasil mengubah pandanganku padanya.
Bukan, aku tidak berbicara mengenai kekagumanku padanya. Aku membicarakan perihal tatapan hangatnya yang berubah sendu. Aku membicarakan sinarnya yang meredup.
Semenjak itulah aku dapat melihat bahwa dia benar-benar sandyakala. Langit sore kemerahan yang siap direnggut kegelapan. Di dalam tawanya, terdapat harapan untuk esok hari. Di balik renyah suaranya, ada getar ketakutan pada dunia.
Ah, aku tiba-tiba saja menjadi manusia sok tahu perihal ekspresi muka. Aku tiba-tiba menjadi psikolog gadungan jika sudah menyangkut Sandyakala.
Tapi aku yakin jika aku tidak sendirian. Rata-rata, orang yang sedang tertarik pada sesuatu pasti akan merasa terhubung dengan hal yang disukainya itu.
Begitu juga denganku pada Sandyakala, aku merasa terhubung dengannya karena aku telah menjatuhkan hampir seluruh atensiku padanya. Pada pemilik senyum hangat yang mampu mengelabuhi setiap yang memandang.
Sebenarnya, aku masih tidak menyangka bahwa aku yang mulanya hanya menjadi pengagum rahasia, aku yang mulanya serupa Clytie ini tiba-tiba bisa berjalan beriringan dengannya.
Tahun-tahun yang terlewat untukku memandang punggungnya telah berakhir, berganti dengan jejak langkah yang ku ukir beriringan dengannya. Bukankah aku sudah jatuh begitu dalam kepadanya?
Sepertinya aku terlalu mudah menjatuhkan hati, terlalu sederhana caraku jatuh cinta. Senja Callista, perempuan yang hidup dipenuhi kesederhanaan ini telah menaruh hati pada laki-laki dengan cara paling sederhana juga.
Puisi cinta milik Sapardi sepertinya tidak mampu mendeskripsikan kesederhanaanku ini. Terlalu sederhana sampai kata pun lebih rumit dibuatnya.
Hari ini, aku akan bersiap-siap untuk mengikuti kegiatan jurusan. Kegiatan yang diadakan satu tahun sekali untuk mempererat kedekatan antar-angkatan mahasiswa, utamanya mahasiswa baru.
Ya, aku akan mengikuti kegiatan malam akrab, kebetulan aku juga menjadi salah satu panitia senior di sana. Aku sebut panitia senior karena sekarang aku hanya sebagai "penasihat" untuk kepanitiaan tahun ini.
Begitu juga dengan Centa, bedanya dia dulu sebagai sie dokumentasi sedangkan aku sebagai sie acara.
Aku masih ingat bahwa makrab tahun lalu kak Sandyakala tidak hadir. Entah ke mana perginya laki-laki itu sehingga tidak dapat hadir saat makrab. Dulu aku belum sedekat ini untuk menanyakan keberadaannya, bahkan pada kak Hasta atau Centa sekalipun.
Padahal dia bukan tipe orang yang akan absen dari kegiatan jurusan apalagi jenis kegiatan seperti ini. Tapi aku tidak mau ambil pusing, karena kesibukan orang itu beda-beda, bukan?
Sekarang, yang terpenting adalah dia bisa ikut makrab tahun ini, bahkan ia sudah menawarkan untuk mengisi acara nantinya.
Oh iya, aku ingin menunjukkan sedikit tulisanku tentang kak Sandyakala. Sebuah surat yang tidak akan pernah sampai kepada tuannya.
Kepada Sandyakala, rona kemerahan kala mentari hendak diculik malam
Entah apa yang membawamu datang padaku, entah apa yang menuntun langkahmu bergerak ke arahku, entah rencana besar apa yang semesta siapkan sehingga ia menempatkanmu mendekat pada radarku.
Mungkin pada namaku yang bagi sebagian orang terlalu sederhana ini? atau mungkin pada kecintaanku pada langit jingga yang kebetulan sama denganmu? atau pada hal lain yang tak aku ketahui?
Apa pun alasanmu mendekat, aku hanya ingin berterima kasih kepada semesta. Terima kasih telah menyamakan langkahku denganmu, dalam artian aku bisa menjadi bagian dari cerita hidupmu.
Aku bisa menggapai Helios-ku, meski kata menggapai belum cukup untuk mendefinisikan kedekatan kita saat ini. Setidaknya, aku bukan Clytie yang hanya mampu memandang Helios-nya, mengagumi dari jauh, dan tak pernah dilirik bahkan sampai ia menyatakan rasa.
Aku adalah Senja Callista, seseorang yang berutung karena Sandyakala menjabat tangannya. Karena Sandyakala mengajaknya menyaksikan hangatnya langit jingga, di berbagai sudut semesta.
Aku hanya akan mendoakan hal-hal baik dalam perjalanan ini. Akan aku gaungkan mantra-mantra bahagia agar perjalanan kita baik-baik saja. Meski aku tahu, bahwa akan ada waktu tangis mampir seperti mendung dan hujan yang menutup langit.
Aku pun telah mempersiapkan diri menghadapi hilangmu seperti tempo hari. Akan aku siapkan kekuatan untuk menghadapi segala situasi mendatang. Tentang datang dan pergimu, tentang suka dan dukamu, dan tentang bagaimana aku akan terus mengusahakan tawa kita.
Entah bagaimana denganmu, aku tak perlu tahu jika kau belum siap berbagi denganku. Karena dunia tak berputar padaku atau padamu saja, biar semesta berjalan sesuai alurnya. Biar semesta sedikit demi sedikit merapikan goresan sketsa yang belum jadi di atas kanvas kita.
Aku tunggu kau di seberang, di persimapangan jalan bernama kebersamaan. Dalam arti yang sebenarnya. Menjadi dua manusia yang utuh dalam satu cerita.
Kepada Sandyakala yang hangat, semoga ronamu tidak akan memudar dari hari ke hari berikutnya. Tetap bahagia, ya.
Sampai Jumpa di Lembar Berikutnya ...
..
.
.
Rasanya kangen banget pengen up cerita ini, meskipun kayanya udah pada bosen nunggu. Gak papa, aku juga udah terlanjur sayang sama Sandyakala dan Senja 😭
Jadi ... Ya yang masih stay, selamat membaca 😌
With love, Rusa
Utopia, 24 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala dan Senja
RomanceINGAT UNTUK VOTE DAN KOMEN YA ☺️🌻 Sandyakala menyukai senja, begitu pun Senja yang amat mencintai langit kemerahan menjelang petang. Dua insan yang dipertemukan semesta karena kecintaan yang sama. Akankah kisah sederhana mereka berakhir dengan baha...