04. Ujung Dunia

7 1 0
                                    

---

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

---

Kami berlari dan tiba hingga ke stasiun. Jarak stasiun kereta bawah tanah dengan rumahku memang bisa dibilang tak terlalu jauh. Maka dari itu kami dapat sampai kesana cukup cepat walau waktu yang ditempuh dengan berjalan kaki tidaklah mudah.

Aku dan Mimpi melangkah masuk ke dalam kereta setelah memberikan karcis. Entah dapat darimana, namun mimpi sudah menyediakannya seakan ia tahu aku akan ikut bersamanya. Begitu sepi pengunjung, hanya ada satu dua sampai 5 orang digerbong ini. Wajar saja, ini pukul 3 pagi. Bahkan seharusnya kereta belum beroperasi, aku pun tak tahu mengapa stasiun ini masih buka.

Aneh, namun tak ada pikiran-pikiran lain selain sudah terbebas dari kekangan ketakutan yang selama ini telah menghantuiku.

Tertutuplah pintu gerbong, pemberitahuan dari speaker kereta yang menggema, bergemuruh ke seantero kereta menginfokan tempat tujuan mereka dan kehati-hatian penumpang. Usai pemberitahuan dari pramugari di balik speaker tersebut, melajulah alat transformasi ini dengan kecepatan tak terkira layaknya sebuah kereta pada umumnya.

Bunyi nyaring pada mesin mengiringi kesunyian diantara aku dan Mimpi. Kami berdua memilih berdiri dan bergandolan pada salah satu pegangan-pegangan yang menggantung diatas kepala kami.

Aku melirik Mimpi yang masih dalam keadaan berlumur darah. Wajahnya terkena cipratan sedikit, bagian tangan tak usahlah di tanya lagi. Orang-orang yang melihat kami saat menuju kemari pun terkejut dan ketakutan, mereka memilih lebih mengacuhkannya dibandingkan harus berurusan dengan kami. Baguslah.

Mimpi sadar akan mataku yang terus-terusan menatapnya, lantas ia pun membalasnya. Lagi-lagi sembari tersenyum tipis yang selalu membuatku terasa sejuk.

"Ada yang mau kamu bicarakan?" Aku masih memandangnya sembari menelan ludah.

Tinggiku dan dia terlampau cukup jauh, jarak-ku antara bahunya hanya berbeda sedikit. Maka dari itu sejak tadi aku mendongak ke atas begitu pun dia yang sedikit menurunkan pandangannya untuk menatapku.

"Kenapa... kamu mau bebasin aku?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dengan spontan. Ku sendiri pun tak paham akan bicaraku tiba-tiba.

Mimpi tersentak kecil, namun tak lama ia kembali tersenyum. Wajahnya yang bagaikan peri elf itu kembali memandang ke depan.

"Aku cuma mau jati diri kamu kembali." Jawabannya itu diluar nalar perkiraanku.

"Kamu itu Awan. Awan itu bebas di langit-langit. Jika tidak bebas, bukan awan namanya." Seketika aku membeku. Baru saja aku mendengar perkataan yang telah lama ingin ku dengar. Jauh sebelum dari kegilaan ayah, aku ingin sekali orang-orang berkata seperti itu.

Walaupun aku diibaratkan hidup bahagia kala itu, tapi bukan berarti aku bebas. Bagiku, sebahagia apapun manusia di muka bumi ini, tidak ada manusia yang bebas dari apapun.

Mimpi yang Membawa Awan ke Peron 9¾ [YEONJUN × SAKURA]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن