Chapter 21

12 3 0
                                    

Rumah Arkana masih terlihat ramai dikunjungi kerabat dan para tetangga, mereka baru pulang dari pemakaman teman-teman sekolah Arkanapun juga ikut serta, mereka turut berbelasungkawa atas kepergian ibunda Arkana.

Gerhana melihat Arkana yang saat ini masih terpukul atas kepergian mamanya, sejak semalam Gerhana terus memikirkan masalah mereka dan merasa bersalah kepada sahabatnya Arkana.

"Na, lo mau ke mana?" tanya Tara, ketika ia melihat Gerhana ingin beranjak.

"Gue mau samperin Arkana, gue mau minta maaf sama dia," jawab Gerhana.

"Sebaiknya lo enggak usah samperin Arkana dulu, waktu dan situasi saat ini belum tepat, Na."

"Tapi, gue enggak bisa kayak gini terus, Ra. Gue ngerasa bersalah banget sama Arkana, apalagi sekarang dia ngediamin gue semenjak kejadian semalam," jelas Gerhana.

"Gue tau perasaan lo sekarang kayak gimana, Na. Tapi, kalau lo samperin Arkana sekarang yang ada dia makin marah sama lo, apalagi sekarang anak-anak sekolahan kita lagi ada di sini, emangnya lo mau mereka semua tau tentang masalah ini?"

Gerhana menggeleng, ia tidak mau hal itu sampai terjadi.

"Lo benar, Ra. Kayaknya gue harus nunggu waktu yang pas buat ngomongin ini semua sama Arkana," ucap Gerhana kepada Tara.

"Gerhana," panggil Luna.

"Mama." Gerhana tidak menyangka jika Luna akan datang menghampirinya.

"Tara, tante mau ngomong sebentar sama Gerhana enggak apa-apa, kan?" ucap Luna yang diangguki oleh Tara.

"Kalau gitu gue pergi dulu, Na," pamit Tara.

"Mama mau ngomong apa lagi?" ucap Gerhana ketus.

"Kita ngomongnya di taman belakang aja, ya."

Setelah sampai di taman belakang rumah, Gerhana dan Luna duduk di kursi taman. Tanpa ingin berlama-lama Gerhana langsung menanyakan apa yang sebenarnya ingin dibicarakan oleh mamanya.

"Langsung aja, Ma. Sebenarnya apa yang mau Mama omongin?"

"Kamu masih marah, ya, sama Mama?" ucap Luna yang berhasil membuat hati Gerhana melunak.

"Mama enggak ada niatan untuk ngerebut Papa dari sahabat kamu, Na. Mama juga enggak tau kalau sebenarnya Mas Miko itu sudah beristri," jelas Luna.

"Mama juga baru tau setelah Mama pulang ke Indonesia, Mama juga shock setelah tau tentang istri pertama Mas Miko, Mama marah dan kecewa, tetapi, Mama enggak bisa berbuat apa-apa, karena Mama tau kalau Mama itu cuma istri kedua dari Mas Miko ditambah lagi saat ini Mama sedang mengandung."

Gerhana kaget dan langsung melihat kearah Luna yang saat ini tengah mengelus perutnya, Gerhana cukup kaget mendengar Luna yang saat ini tengah mengandung.

"Setelah sekian lama akhirnya penantian kami tiba, tetapi, begitu juga dengan masalah yang turut datang menghampiri. Perusahaan Mas Miko di luar negeri mengalami penurunan sehingga kami harus pulang ke Indonesia."

"Gerhana, Mama enggak tau harus bagaimana, Mama juga enggak mau seperti ini, tetapi, Mama juga harus mikirin adik kamu yang masih ada di dalam sini, Na," lirih Luna kepada Gerhana.

"Mama enggak mau ketika dia lahir enggak memiliki seorang ayah," lanjut Luna.

Gerhana tersenyum miris kepada Luna.

"Coba aja waktu itu Mama berpikiran seperti ini, Ma. Mungkin saat ini keluarga kita enggak akan hancur kayak gini," jelas Gerhana.

"Situasinya berbeda Gerhana, semua yang terjadi dengan keluarga kita itu semua karena Papa kamu, coba aja waktu itu Papa kamu enggak selingkuh dan menikah lagi mungkin ini semua enggak akan terjadi," jelas Luna, ia masih ingat jelas kejadian itu.

"Ternyata kamu masih belum berubah, Luna!"

Suara itu sukses mengalihkan atensi ibu dan anak itu. Luna dan Gerhana menoleh ke sumber suara dan melihat Bara dan seseorang yang berdiri di sana.

"Bara,"

"Papa."

Gerhana melihat seseorang yang saat ini bersama Bara, ia seperti mengenali wajah dan tatapan kosong itu.

"Gala," panggil Gerhana.

Gerhana langsung berlari dan memeluk Gala, ia begitu merindukan adik kesayangannya itu.

"Kakak," ucap Gala yang juga membalas pelukan dari Gerhana.

"Gala, kakak kangen banget sama kamu," ucap Gerhana, ia semakin mengeratkan pelukannya dan tak ingin melepasnya.

"Sama, Kak, Gala juga kangen sama Kakak," ucap Gala.

"Ada perlu apa kamu ke sini?" tanya Luna ketika melihat mantan suaminya itu.

Bara tersenyum smirk. "Aku dan Mamanya Arkana adalah partner bisnis, jadi, wajar saja aku ke sini," jelas Bara.

"Aku tidak sengaja melihat Gala dan mendengar semua ucapan kamu. Aku tidak percaya kamu masih sama seperti yang dulu, kamu selalu menyalahkanku atas semua yang terjadi," lanjut Bara.

"Memang benar, Mas. Ini semua enggak akan terjadi kalau bukan karena kamu!" ucap Luna emosi.

"Seharusnya kamu itu sadar Luna, aku enggak mungkin selingkuh kalau kamu bisa ngurus suami!" jawab Bara tak kalah emosinya, mantan istrinya ini selalu menyalahkannya atas semua yang terjadi.

"Berhenti!" bentak Gerhana.

"Pa, Ma. Berhenti saling menyalahkan, seharusnya kalian itu mikir dan introspeksi diri kalian masing-masing!" ucap Gerhana, ia begitu emosi melihat tingkah kedua orang tuanya yang masih sama saling menyalahkan seperti dulu.

"Kalian itu sama-sama salah, Pa, Ma. Coba aja waktu itu Papa sama Mama enggak egois dan enggak mikirin kehidupan kalian masing-masing, mungkin saat ini keluarga kita masih utuh dan enggak kayak gini!"

Gerhana melihat kedua mata orang tuanya, kemudian ia berjalan mendekati Luna.

"Ma, Gerhana tau apa yang saat ini Mama lakukan demi kebaikan dari bayi yang ada di perut Mama. Mama enggak mau ketika bayi itu lahir enggak ada sosok ayah yang mendampinginya, Mama enggak mau jika kelak ia tumbuh tanpa ada sosok ayah di hidupnya."

"Tapi, Ma. Apa Mama pernah berpikir sesuatu tentang Gerhana ataupun Gala saat itu, Ma? Apa Mama pernah berpikir tentang Gerhana yang waktu itu Mama tinggalin sendirian sama Nenek?"

Gerhana menggeleng dengan mata yang saat ini sudah berkaca-kaca.

"Gerhana yakin Mama enggak mikirin itu, Ma. Mama enggak mikirin gimana sedihnya Gerhana ketika Mama pergi saat itu. Bahkan, Mama juga enggak tau, kan, betapa sedihnya Gerhana tumbuh dewasa tanpa adanya peran seorang ibu ataupun ayah disisi Gerhana," ucap Gerhana yang saat ini juga menatap kearah Bara.

"Bahkan, ketika Nenek meninggal sekalipun, kalian enggak pernah mikirin itu, kalian enggak tahu kalau Gerhana sering merasa kesepian, Gerhana selalu ngerasa sendirian, kalian enggak akan pernah tau itu. Karena kalian itu egois, kalian terlalu egois dan cuma mementingkan kehidupan kalian masing-masing, tanpa peduli gimana kehidupan dari anak-anak kalian!"

Gerhana meluapkan semua isi hatinya, ia mengungkapkan semua yang ia rasakan dan apa yang ia pendam selama ini.

Gerhana melirik kearah Gala yang saat ini hanya terdiam dengan tatapan kosongnya.

"Dan Gerhana yakin, Gala juga merasakan hal yang sama seperti Gerhana. Kalian itu egois, kalian itu orang tua yang cuma bisa mikirin diri sendiri hingga mengorbankan kehidupan anak-anak Kalian sendiri!"

Bara dan Luna terdiam, mereka meratapi dan memikirkan semua ucapan Gerhana. Semua yang dikatakan Gerhana ialah bentuk dari ungkapan rasa sakitnya selama ini. Bara dan Luna merasa bersalah dan gagal menjadi orang tua yang baik bagi kedua anak mereka.

PLUVIOPHILE ~SELESAI~ Where stories live. Discover now