Chapter 11. Bertemu mamanya Azel

28 15 2
                                    

🌷Happy Reading🌷

☕☕☕☕

Setelah hampir setengah jam perjalanan, kini mobil Azel telah tiba di sebuah rumah yang dari depan saja tampak tanaman-tanaman hijau yang terbentang luas di tepian—sehingga membuat rumah bernuansa putih tosca itu tampak sangat adem untuk dipandang oleh mata.

Azel memarkirkan mobilnya di tepian halaman rumah mamanya.

Saat tiba di depan rumah, Azel segera menekan sebuah benda pipih bewarna putih yang di tengahnya terdapat sebuah tombol—benda itu tertempel di dinding. Azel memencetnya, lalu kemudian benda itu memunculkan suara khas seperti bel-bel lainnya.

Beberapa saat menjelang .... Pintu terbuka, dan mereka langsung disambut oleh pelayan rumah itu.

"Silahkan masuk," ucap Pelayan, mempersilahkan dengan lembut.

Azel segera masuk, diikuti Azam yang berada di belakangnya. Hingga langkah demi langkah, akhirnya mereka tiba di sebuah ruang tamu. Namun saat tiba, mereka tidak langsung duduk melainkan berdiri sembari menunggu mamaya Azel datang. Hingga tak berselang beberapa menit, Wahida—ibunya Azel akhirnya datang menghampiri mereka di ruang tamu.

Azam seketika mendekat, sembari langsung menyalimi tangan Wahida saat itu juga. "Hallo Tante," ucapnya di sela salimnya. Lalu kemudian, ia berbalik kembali—mendekati Azel.

Azel terdiam dengan raut wajah kaget sesaat melihat apa yang Azam lalukan secara tiba-tiba barusan pada mamanya.

Teks yang Azam pahami dari yang Azel berikan kemarin malam adalah, mamanya sangat suka lelaki yang sopan. Maka dari itu ia melakukan hal ini. Selain itu, ini sudah kebiasaan yang ia bawa dari desa.

Wahida melihat postur tubuh lelaki itu—Azam—yang terlihat nyaris sangat sempurna, wajahnya tampan dan berkulit sawo matang. Tubuhnya tinggi tegap dengan tataan rambut pendek lurus yang rapi. Begitu pula pakaiannya, terlihat sangat mahal.

"Silahkan duduk," ucap Wahida mempersilahkan sembari duduk di kursinya. Lalu kemudian kedua remaja yang berada di depannya itupun ikut duduk di kursi sofa panjang tepat di depan Wahida.

"Jadi gini, Ma–"

"Jadi, apa pekerjaan mu, Nak?" Wahida langsung menyalip begitu saja ucapan Azel sembari menatap Azam.

Azam melirik ke arah Azel dengan ragu, lalu kemudian ia melihat ke arah Wahida kembali sembari berkata, "Barista, Tante," jawabnya pelan.

"Oo, Barista. Di bar?" tanyanya lagi.

"Di kafe, Ma!" jawab Azel.

"Hm .... Kafe mana?"

"Kamarin dia–"

"Syut! ... Mama tidak bertanya padamu!" celetuk Wahida yang lantas membuat Azel yang baru saja ingin menjawab itupun terdiam.

Azam melirik ke arah Azel—Azel membalas tatapan itu dengan penuh harapan agar Azam tak salah menjawab. Lalu kemudian Azam melihat ke arah Wahida.

"Saya dahulu bekerja menjadi Barista di cafe Australia, Tante. Tapi setelah 5 tahun bekerja di sana, saya pikir, rasanya saya ingin kembali ke Indonesia sekaligus bertemu dengan Azel," tutur Azam panjang lebar, yang membuat Azel seketika tersenyum. Sepertinya dia telah menghafalkan teksnya dengan baik.

"Hmm ... apa benar itu, Zel?" tanya Wahida yang akhirnya menanyakan itu pada anaknya.

"I–iya, Ma." Azel mengangguk cepat.

CAFE IN LOVE [SELESAI/TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang