Chapter 1

492 34 2
                                    

Suasana kesedihan melanda di desa Burah adanya kabar burung bahwa banyak dari anggota keluarga mereka tumbang ketika bekerja paksa di bawah pimpinan belanda, dimana mereka kerja rodi yang tiada hentinya dengan jam yang tak menentu. Radjar sungguh terpukul mengetahui kalau kakak laki-lakinya sekarat selama bekerja dan hingga meninggal dengan tubuh yang kurus akibat kurangnya makan serta istirahat, dia menggertakan giginya seolah ingin mengoyak para kepala-kepala pencundang berkulit pucat.

Sudah 1 tahun berlalu dia hidup sebatang kara tanpa adanya keluarga, ibunya meninggal dan ayahnya pergi entah tanpa diketahui dan dia hanya memiliki kakak laki-laki sebagai keluarga semenjak kepergian ayahnya 5 tahun yang lalu ketika berusia 15 tahun. Radjar pada dasarnya sosok periang yang memiliki sifat hangat sehingga banyak orang di desa mengaguminya.

Rusmini teman masa kecil sekaligus tetangga dekat Radjar, ia selalu merasa kasihan padanya sebab banyaknya pukulan hidup yang terus menimpuk. Sore ini dia berkunjung dengan membawakan makanan,
"Piye awakmu, waras tah?" Tanya Rusmini
(Gimana kabar mu, sehat kan?)
Radjar, " awak waras, mung ragane embuh"
(Badan sehat-sehat aja, tapi jiwanya nggak tau)
"Hush! raga kudune waras aja dadi gemblung! , Ujar Rusmini
(Hush! Jiwa seharusnya sehat jangan sampai jadi gila!).

Radjar mendatangi pak Mahfud bermaksud meminta pekerjaan, lalu pak Mahfud menawarkan untuk bekerja di rumah tuan Belanda dan Radjar pun menerima menyanggupi tawaran. Sejenak Radjar berfikir bahwa ini bisa menjadi kesempatan untuk menemukan siapa dalang pemimpin kerja rodi, dimana ia akan menggunakan sebagai koneksi lebih cepat sehingga
Rencana ia terwujud.

Datanglah Radjar di rumah tuan Belanda namun ia heran mengapa yang menghampirinya seperti seseorang umur 25-an?,namun ternyata dia seorang perwira dan anak tertua dari jendral Caspar De Groot yang memerintah pembangunan benteng pertahanan sekaligus memerintah di kemiliteran.

"Kowe saking tiang pundi, ndo?" Tanya mbok Tarmi
(Kamu orang mana, nak?)

"Kulo tiang saking desa Burah, Bu!" Jawab Radjar
(Saya orang dari desa Burah, Bu!)

"Oalah rada adoh toh! Jenengmu sopo ndung?" Tanya lagi mbok tarmi
(Oalah lumayan jauh! Namamu siapa nak?)

"Jenengenipun Kulo Radjar, Kulo teng Ngriki Bade gawe Bu, Niki Dina pertama Kulo" Radjar sambil tersenyum tipis dan membungkuk
(Nama saya Radjar, saya kesini mau bekerja Bu, ini hari pertama saya)

"Kowe aja ngundang aku Bu, ngomong wae mbok Tarmi" kekeh mbok Tarmi
(Kamu jangan manggil aku Bu, ngomong aja mbok Tarmi)

" Yo Wis, koe kerja ngene kudu sregep aja nesa nesu, di lakoni wae sing dadi pegaweanmu, ngko tak kenalke sing liane. Neng kene sing gawe Ono wong telu, gaweanku njangan nyiapke panganan, lah ana sing ngopeni anake nyonya(panggilan majikan) , lan sing terakhir kui reresik umah, lah mpean sing bagian kebun, mugio betah Ning kene yo ndung." Penjelasan mbok Tarmi

(Ya udah, kamu kerja disini harus rajin jangan nesa nesu, di lakuin aja yang jadi job desk mu, ntar kamu ku kenalin yang lain. Di sini yang kerja ada tiga orang, kerjaanku memasak menyiapkan makanan, kemudian ada yang mengasuh anaknya nyonya(panggilan majikan) , juga yang terakhir itu ada yang bagian berberes rumah, dan kamu yang bagian kebun, semoga betah disini ya nak.)

"Nggeh mbok, Kulo leres. Matursuwun" titah Radjar
(Baik mbok, saya paham. Terimakasih).

Sebuah bola menggelinding mengarah ke Radjar, sontak ada yang meminta untuk mengembalikan bolanya dan Radjar pun menendang bola ke arah bocah Belanda tersebut ternyata rupanya ia anak bungsu dari keluarga De Groot bernama Carlo. Sejenak Carlo melihat Radjar dan bertanya siapakah dirinya dan kenapa bisa ada di halaman rumahnya? Radjar pun menjelaskan bahwa dia pegawai baru di rumah ini, kemudian setelah menjelaskan tiba-tiba tanpa aba-aba Carlo menarik tangan Radjar bermaksud untuk mengajaknya bermain. Carlo senang karena kini dia punya seseorang untuk di ajak bermain bersama, sebelumnya ia tak mempunyai teman banyak
Sebab orang tuanya melarang untuk bermain dengan anak-anak pribumi karena perbedaan kasta.

Di jendela tampak Camlo sedang memperhatikan mereka bermain bersama.

1889 : War and LoveWhere stories live. Discover now