32/. Tamu tak diundang

205 5 0
                                    

"Lepaskan, atau ikhlaskan. Bila yakin dia milikmu, perjuangkan. Tapi kalau enggak, lebih baik ikhlaskan. Karena yang menjadi milikmu pasti akan kembali kepadamu bagaimana pun caranya. Dan yang tidak ditakdirkan menjadi milikmu, sampai kapanpun tidak akan pernah menjadi milikmu."


















Haidar menghembuskan nafas kasar berulang kali. Jiwa julitnya meronta-ronta hendak keluar saatmelihat kebucinan yang kini ada dihadapannya. Ayolah, mereka sedang ada di kantin kantor sekarang. Ada banyak orang disini. Tapi dunia seakan hanya milik dua sejoli  di depannya ini. Dengan malas laki-laki itu mengaduk spaghetti miliknya kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya.

"Kenapa tadi gak ngabarin mau kesini, hmm? Kalau tadi aku telat dateng-" Adnan tak melanjutkan ucapannya. Dadanya masih bergemuruh ketika mengingat bagaimana kasarnya Aliza diperlakukan.

"Aliz tadi niatnya biar surprise, tapi sampai disini malah hancur gara-gara demit satu itu. Huh." Kesal Aliza mengadu.

Adnan tersenyum tipis. Tangannya bergerak mengusap lembut pipi Aliza. "Jangan gitu lagi, Sayang. Aku khawatir." Ucapnya yang sontak membuat pipi Aliza bersemu malu.

"Ada yang sakit lagi selain tangan kamu?" Tanya Adnan lembut.

"Enggak, cuman tangan aja kok!" Jawab Aliza menenangkan.

Adnan mengangguk pelan. Tatapannya tidak lepas dari pergelangan tangan Aliza yang memperlihatkan goresan kuku yang cukup dalam. Sorot mata laki-laki itu mendadak sendu.

"Maaf, maaf karena aku gagal jagain kamu. Tangan kamu jadi luka gini." Lirihnya penuh penyesalan. Dengan perhatian, Adnan meniup-niup pergelangan tangan Aliza yang sudah di beri salep itu.

Melihat itu hati Aliza menghangat. Lihat, seberapa cinta dan perhatiannya Adnan padanya. Aliza rasa, bersyukur seumur hidup pun, belum bisa menunjukkan betapa Aliza benar-benar beruntung memiliki laki-laki ini.

"Gak papa, cuman luka kecil. Jangan terlalu menyalahkan diri kamu. Bukan kamu yang salah dalam hal ini, oke? Kamu juga tadi udah ngelindungin aku sebaik mungkin. Untuk itu, harusnya aku yang bilang makasih. Makasih karena udah jadi suami hebat, yang selalu siap berada didepan aku buat jadi sosok pelindung. Makasih, sayang." Kata yang bak angin segar bagi Adnan. Laki-laki itu memejamkan matanya. Menikmati usapan lembut Aliza di rambutnya.

Ekhem

"Kalau mau ngebucin jangan didepan gue dong. Hargai sikitlah, hak berprikejombloan banget!" Sindir Haidar pedas. Laki-laki itu sudah cukup bersabar sejak tadi. Tau begini, tadi ia tolak saja ajakan makan dua manusia didepannya ini.

Adnan terkekeh geli melihat wajah kesal Haidar.  Sedangkan Aliza menunduk malu. Kenapa dia bisa lupa kalau masih ada sahabat Adnan didekat mereka?

"Makanya jangan jomblo Mulu. Cari calon sana. Kasian saya liat kamu. Umur udah tua, tapi calon istri belum juga nampak hilalnya."  Ejek Adnan yang semakin memperkeruh wajah Haidar.

"Enak aja! Gue belum tua ya! Umur gue itu masih 23. Masih fresh. Masih banyak yang mau." Sanggahnya tidak terima. Enak saja, umur masih ABG dikatain tua.

"Jadi mau nikah umur berapa kamu?" Tanya Adnan serius.

Haidar menghela nafas lelah. "Nunggu Safira peka sama perasaan gue." Lirihnya. Hah, Haidar jadi mengasihani nasibnya sekarang. Bahunya terkulai lemas kala ingatannya jatuh pada gadis manis berlesung pipi itu.

Adnan menepuk bahu sahabatnya menguatkan. "Kalau kamu gak Confess, sampai jerapah bertelur pun, Safira gak akan tau perasaan kamu." Ujarnya.

Wajah Haidar semakin lesu. "Gimana gue mau Confess, setiap ketemu gue aja, dia manggilnya om."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 29, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Perfect Husband For AlizaWhere stories live. Discover now