11. Gaji Pertama

27 7 0
                                    

Kak Dekka mendengar saran Mas Janitra untuk menenangkan diri lebih dulu. Dari sini aku bisa melihatnya sedang duduk termenung di ruang tamu sendirian. Sedangkan Mas Janit tetap di sebelahku, berjaga-jaga barangkali aku membutuhkan bantuannya.

Usai berhasil dilerai Mas Janit, nampak sekilas pertengkaran kami sangat menarik bagi sebagian orang. Tercatat sudah ada dua orang yang bertindak sebagai mediator atau penengah ketika kami sedang adu berdebat, yakni Mas Sangga dan Mas Janitra. Bisa saja sesi pertengkaran berikutnya nanti ada Mas Braga ikut turun tangan menengahi kami.

Pening di kepalaku belum terasa pudar meski sudah berbaring sejak 30 menit yang lalu. Kedua tanganku memerah bengkak, lapisan kulitnya menebal seperti kapalan yang menyebar di tiap -tiap ujung jemari. Perih, lemas, dan yang baru saja kusadari sekarang terasa nyeri bengkak.

Kalau ada ibu di sini, pasti tubuhku sudah dipijat-pijat pelan sejak tadi dengan menggunakan minyak urut aromaterapi andalannya, yang selalu beliau simpan di kotak P3K. Atau kehadiran bapak yang selalu setia menemani putri bungsunya seraya sibuk bekerja menghadap layar laptop.

Mengintip Kak Dekka yang masih duduk di sana—dekat kursi goyangnya bapak, sepertinya ia sedang memiliki masalah. Sejak kepulangannya tadi dari peternakan, bawaanya selalu saja bikin naik darah. Wajahnya ditekuk muram disertai kedua sudut alis yang menyatu sempurna. Bibirnya merengut diikuti gerakan dagu lancipnya yang ditumbuhi jenggot tipis.

Sudut mataku yang berbakat mencuri-curi pandang, kulirik Kak Dekka yang tak berhenti menyugari surai legam lebatnya yang sudah waktunya dicukur. Sepuluh menit berlalu, ia beranjak dari kursinya untuk datang kembali menghampiriku.

"Udah belom?"

"Apaan, Kak?"

"Marahnya."

"Ih, siapa yang marah? Kan elo yang dari tadi ngomel mulu." bernada sewot aku menjawab.

Sementara laki-laki berambut polem alias poni lempar menimbrung, "Sumpah ya, kalian berdua emang cocok jadi kakak adik."

"LAH KAN EMANG KAKAK ADIK!" seru kami bersama pada Mas Janit.

Ia mengendurkan tubuhnya sedikit diiringi gerik tangan bergaya bela diri, "Wetseh! Biasa aja, dong. Kalau kayak gini berasa dikeroyokin nih, gue."

"Lo ada orang lagi berantem juga masih aja sok ngelucu." datar Kak Dekka menghela napas. Tiba-tiba dia merogohi saku celana belakang, dikeluarkannya sebuah dompet kulit berwarna cokelat usang. Bentuknya persegi yang dapat dilipat sekali serta sebagian tepinya telah mengelupas. Aku melihat ada KTP serta SIM Kak Dekka yang terpampang jelas bagian atasnya. Tangan kanannya mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dihadapanku sengaja.

Tak ada angin, tak ada hujan, "Nih, duit sejuta. Gaji lo bulan ini." sodor Kak Dekka penuh kesadaran.

Aku yang masih berbaring lemas di alas tikar tiba-tiba terbangun duduk secepat kilat bagai disambar petir. Melihat deretan uang seratus ribu terpampang tepat di depan mata, lantas menggoyahkan diriku yang masih bersitegang padanya. Kalau aku segera menerima, itu tandanya aku sudah menyerah dan siap diperbudak seenaknya lagi oleh Kak Dekka.

Tidak! Aku harus mempertahankan harga diriku dulu. Aku tidak boleh tergoda. Radelin Al Vira, jangan sampai hanya karena diberi uang sejuta kamu dengan mudah terlena. Hati-hati masuk jebakan kakakmu lagi! Ayo buat kakakmu menyesal karena sudah tega membuat adiknya meronta-ronta tersiksa!

"Ah, gak usah sok begitu, Kak. Lo pasti sengaja bikin gue sengsara dulu, baru abis itu lo iming-imingin duit ke gue biar gak pergi. Iya, kan?? Cih! Gue udah tahu akal licik lo!" tuduhku nyaris sempurna terlontar. Kurang jitu apalagi kalimatku supaya dia sadar, bahwa tidak semua hal bisa dibayar pakai uang.

Unexpected DekkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang