4. Sick

318 75 48
                                    

Pagi tadi Sinzi hanya sempat menelan beberapa suap sarapan. Kini, ia merasa lemas dan perutnya tidak nyaman setelah muntah, ditambah efek bermain hujan semalam yang membuatnya semakin tidak enak badan.

Gadis itu berjongkok, menekan perut dengan tangan kiri sementara wajah pucatnya terbenam di lipatan lengan kanan.

Dari belakang, suara langkah kaki semakin jelas, hingga akhirnya berhenti tepat di depannya.

Sinzi mengangkat wajah. Wah! Ternyata itu pemuda yang menghampirinya tadi malam saat hujan!

Pemuda itu berjongkok dengan salah satu lutut sebagai tumpuan. "Lo nggak apa-apa?"

Sinzi tidak merespons, namun juga tidak menolak ketika pemuda itu membantunya berdiri.

"Kuat jalan?"

Sinzi hanya berdehem sebagai jawaban.

Masih dengan tangan kiri menekan perut, Sinzi tanpa sengaja meremas lengan pemuda itu ketika rasa sakit menusuk perutnya, seakan-akan ada yang melilit kuat dari dalam.

Pemuda itu menghela napas, tidak banyak bicara, lalu berjongkok di depan Sinzi dan mengangkatnya dalam pelukan ala pengantin.

Sinzi hanya pasrah, membiarkan dirinya diperlakukan demikian. Dengan lemah, tangannya melingkar di leher pemuda tersebut.

Selang beberapa menit, mereka tiba di depan ruang kesehatan.

Pemuda jangkung dengan alis tebal itu terhenti di ambang pintu saat melihat brankar UKS yang tirainya terbuka. Gadis di sana tampak terkejut oleh kedatangan mereka-lebih tepatnya, kedatangan dirinya.

Wajah gadis itu pucat, persis seperti wajah Sinzi yang kini telah hilang kesadaran.

Dengan tatapan datar, ia melangkah menuju brankar kosong di samping gadis yang menatapnya dengan penuh kesedihan, seolah acuh terhadap kehadapan siapapun.

Setelah meletakkan Sinzi di pembaringan, pemuda jangkung beralis tebal keluar dari ruang UKS. Tak lama kemudian, ia kembali dengan sekantong keresek putih berisi air, roti, dan minuman susu rasa stroberi.

Ia melangkah menuju gadis berbalutkan selimut yang tengah berpura-pura tidur. Menghela nafas berat, ia meletakkan sebotol minuman susu rasa stroberi di nakas samping brankar tersebut, tepat di sisi gadis yang berstatus tunangannya. "Lain kali gausah keras kepala. Kalo gue larang nurut aja, gue larang juga demi kebaikan lo. Sekarang sakit lagi kan."

Gadis yang ditimpa selimut seketika membuka mata ketika mendengar omelan pemuda tampan yang saat ini berdiri di sisi ranjangnya. Ia senang. Omelan tersebut terlontar karena khawatir 'kan? tak ayal, senyumannya pun terbit. "Aku nggak apa-apa, Ki, cuma sedikit pusing aja. Jangan khawatir."

Gadis yang tertutup selimut membuka matanya saat mendengar omelan pemuda tampan di samping ranjangnya. Ia merasa senang karena omelan itu menunjukkan kekhawatiran, dan senyum pun muncul di wajahnya. "Aku nggak apa-apa, Ki, cuma sedikit pusing aja. Jangan khawatir."

Meilina duduk dan menatap lugu wajah Aeki yang berekspresi datar. "Nyusahin aja lo," kata Aeki.

Meilina mengerucutkan bibir. "Maaf, Aeki."

"Udah berapa kali gue bilang, Meilina? Kalau lo terus ulang sikap keras kepala lo itu, percumaminta maaf," Aeki menjawab dengan nada datar dan memberikan penekanan pada nama sang kekasih.

"Tapi kan aku khawatir pas tau kamu sakit. Kamu juga nggak ada yang ngurusin, kan kemarin-"

"Masalahnya lo baru sembuh! Lo-- ah, terserah!"

Tak mau amarahnya terlampiaskan pada gadis itu, Aeki berbalik hendak pergi, tapi Meilina segera menahan. "Mau kemana?"

"Lo nggak liat jam berapa sekarang?" tanyanya sarkastik.

Uncanny GirlWhere stories live. Discover now