Bab 43

4.8K 898 55
                                    

Seluruh saraf Rolan tak mengendur sedikit pun ketika bertemu dengan orang tua Mita. Meski dia sampai tak bisa tidur untuk menghadapi pagi itu, namun tetap saja, jantungnya bertalu cepat.

"Kok nggak bisa sempatin datang kemarin?"

Lontaran itu menancap kuat. Rolan merasa sedang dihakimi oleh tatapan orang tua Mita. Meski ucapan yang terucap dari bibir Bapak Mita terdengar santai.

"Nggak sempat, Pak."

"Ada bisnis apa memangnya di Kabanjahe?" Rolan menelan ludah, dan tetap menatap tegak.

"Ada—yang mau saya lihat," elak Rolan.

"Pupuk? Memangnya nggak kejauhan kalau kirim ke Kabanjahe? Atau sapi perah? Lumayan maju itu di sana."

Rolan menelan ludah, diam seolah membenarkan, padahal dia hanya menumpuk satu kebohongan dengan kebohongan lainnya.

"Nggak Pak. Mau kutengok apa sapi mereka kena PMK juga. Nular ke manusia nggak," jawab Rolan.

Dahi Beni langsung berkerut, sementara Vina langsung melirik.

"Memangnya ada yang menular ke manusia?"

"Kalau di tempat kami sih nggak ada yang menular ke manusia. Dan setahu saya memang nggak ada yang menular ke manusia," tekan Rolan.

Rolan sedikit menarik bola matanya melihat reaksi Mama Mita yang terus menatap tajam suaminya.

"Jadi kalian mau balik nanti malam?" potong Vina, yang lalu melirik suaminya.

Mita langsung melihat ke Bang Rolan.

"Iya Bu," sahut Rolan dengan nada tegas.

Tak begitu lama Beni berdeham. "Pemborong bilang mau tambah tukang biar rumah cepat selesai. Nanti begitu rumah siap. Kalian pindah ke sini... jadi kalian nggak perlu pulang jauh-jauh cuma untuk hadirin acara keluarga," ucap Beni sama sekali tak melihat ke arah istrinya.

"Kami nggak akan pindah.... Kami nggak akan pindah..." Namun seruan kencang yang sudah diujung lidah itu tertambat dalam batin Rolan. Dia tak ingin membuat masalah dulu sebelum membawa Mita segera pergi dari sini.

***

Berminggu-minggu berikutnya, nyaris setiap sore hujan mengguyur deras disertai petir-petir.

Untuk banyak alasan Rolan membenci musim ini sekarang, padahal, sebelum-sebelumnya dia menjalaninya dengan biasa saja, meskipun menjadi lebih lelah daripada hari-hari kemarau yang membuatnya kesulitan air. Sebab dia jadi lebih sering mendengar Mita mengeluh.

Mungkin yang dikeluhkan Mita sama seperti warga kampung lainnya, mati lampu, seram jika sudah banyak petir, tidak ada sinyal, belum lagi jalan yang becek dan bolak-balik mencuci sandal. Hanya saja, telinga Rolan menjadi lebih sensitif mendengar hal-hal seperti itu.

Rolan baru saya mencangkuli jalan air agar tak menggenangi ke kandangnya, ketika kembali ke rumah dalam keadaan basah kuyup. Derasnya hujan sudah menampar-nampar sejak tadi, Rolan baru bergerak setelah dirasanya hujan agak mereda dan petir menjauh.

"Bateraiku abis Bang..." keluh Mita ketika Rolan baru selesai mandi.

"Makanya udah tau sore sering ujan hape kau cas dari siang..."

Bibir Mita manyun. Bang Rolan benar.

"Mati lampu gini, apalah yang mau kauliat??" decak Rolan.

"Ada! Udah aku simpan-simpan kok, videonya... malah baterainya yang abis..." Mita merasa dia sudah sangat pintar namun ternyata dia tak cukup pintar.

Jejak LaraWhere stories live. Discover now