Chapter 2

66 5 0
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.

"Dip, gimana lo bisa—"

"LE! Ayok, sini! Katanya tadi mau main basket!"

Cale mengembuskan napas pelan. Sabar, dia harus bersabar menghadapi teriakan tak bermutu Ikbal. Untuk sekarang, ia harus fokus mengintrogasi Dipa, mumpung lapangan basket tidak serame biasanya.

"Dip, lo—"

"LE! Ay—" Ikbal belum selesai bicara, karena mendadak bola basket menghantam kepalanya, hingga dia terjatuh ke lantai.

Sementara si pelaku tersenyum miring, menampakkan wajah tanpa dosa. Di detik berikutnya, gelak tawa menggema lantang dari bibir Cale. Bukan dia yang melempar bola basket itu, tapi sudah membuatnya terhibur.

Sementara si pelaku sebenarnya hanya diam tanpa ada niat membantu Ikbal. Dia kembali memfokuskan pandangan pada Cale. "Lo tadi mau nanya apa?"

Cale berhenti tertawa. "Gila. Lo bar-bar banget. Liat noh si Ikbal, kasihan."

Dipa menghela napas pelan, wajahnya berangsur datar ketika melirik arah Ikbal, yang mencoba berdiri sambil menepuk-nepuk pantat. "Nggak peduli."

Cale geleng-geleng kepala. Sudah biasa baginya. Dipa ini memang seperti itu, memang sedikit aneh bagi Cale. Dipa ini benar-benar dingin pada siapapun, tapi anehnya tidak dengan Cale. Bukannya itu aneh? Apa yang membuatnya sedingin itu?

"Gimana lo bisa pindah ke sini?" Akhirnya Cale kembali ke topik awal.

Dipa diam sebentar, kemudian mengulas senyum semanis mungkin. Para gadis yang tidak sengaja melihat langsung teriak histeris. Maklum saja, mereka baru saja melihat lelaki tampan tersenyum semanis itu.

"Karena lo," kata Dipa masih tersenyum.

Cale mengerutkan kening, bingung juga. Tapi, juga mulai paham. Pasti sama sepertinya, Dipa juga tidak bisa terus berlama-lama pisah dengan Cale. Mereka itu 'kan, saudara kembar. Kata Cale.

Cale memegang dada, mendramatisir keadaan. Dia sampai menyeka sudut mata, padahal tidak ada air matanya yang keluar. "Gue terhura."

"Lo nggak papa 'kan, selama gue nggak ada?"

Cale mengangguk. "Tenang. Lagian, ada Bang Efal juga kok." Dia kemudian memegang dagu dengan kepala mendongak. "Kalo Papa sih, jarang pulang."

Cale kemudian menjentikkan jari, baru ingat sesuatu. Dia menggeser pantat, lebih mendekat pada sisi Dipa. "Ngomong-ngomong, gimana sama Mama?"

COLONWhere stories live. Discover now