BAB - 01

2.8K 433 45
                                    


Bantu koreksi typo, ya.

[ BAB 01 — Just An Excuse ]












Makassar, 04.56 WITA.

Lima belas menit lamanya, netra perempuan yang berkulit putih pucat itu memandang lekat kepada sosok manusia yang terbaring di ranjang. Dengan tangan bersedekap, ia menelusuri setiap jengkal tubuh si pria. Woah, ia tak memungkiri bahwa kini ia terkesima—bukan karena melihat ketampanan yang dimiliki insan tersebut; melainkan perkara cara tertidur yang begitu mencuri atensi.

Bagaimana bisa manusia yang notabene makhluk bernyawa tidak bergerak barang se-inchi pun serta bertahan pada satu pose yang sama dalam kurun waktu bermenit-menit?

Mau disebut meninggal juga tidak. Deru napas yang beraturan itu merupakan bukti bahwa nyawa masih bersemayam di tubuh sang pria.

Haruskah Hestya menyiramnya?

“Sudah bangun?”

Sibuk berkutat dengan khayalan, Hestya tak sadar laki-laki yang berstatus sebagai suaminya sekarang sedang melipat selimut di tempat tidur.

Hestya enggan merespons, ia duduk ke sofa—sofa yang semalam ia gunakan untuk tidur di malam pertama pernikahannya.

Ya, betul—saking teganya Jusran; si suami. Alih-alih menyuruh Hestya tidur di ranjang. Jusran justru memberikan pilihan kepada dirinya.

“Kita udah halal, jadi saya enggak berniat pindah ke mana-mana. Kalau kamu nolak tidur se-ranjang—silahkan pilih sendiri spot yang kamu suka.”

Padahal, kamar yang keduanya tempati adalah kamar pribadi Hestya. Seluruh furniture di sini, hak paten-nya seorang Hestya, mengapa Jusran seakan ingin mengkudeta area teritorial dirinya?

Alhasil, Hestya tidur di sofa, bukan diselimuti kain—melainkan diselimuti perasaan geram sepanjang malam.

“Kenapa?” Hestya bertanya kala Jusran mendekat, ia mengerutkan alis. Enggan terlihat gentar oleh si pria yang mempunyai postur lebih besar darinya, ia bersikeras bertahan di posisi berdiri tegap.

Adzan,” balas Jusran. “Ayo, sholat.”

Tenggorokan Hestya tercekat, ia bersumpah tidak sedang menahan napas sama sekali. Tetapi, sial! Berada di sekitar Jusran seakan sedang menyelami dasar laut tanpa persiapan yang matang. Hingga, paru-parunya tersiksa, akibat kekurangan pasokan oksigen.

“Duluan,” tutur Hestya. “Aku entar.” Ia melangkah mundur, mendaratkan bokong ke sofa. “Sana,” lanjutnya, mengibaskan tangan; persis selayaknya mengusir binatang peliharaan.

“Hestya, saya enggak nyuruh kamu duduk.”

Tak ada penekanan, tak ada emosi. Namun, Hestya merasakan betapa besar pengaruh Jusran dalam mengontrol alam bawah sadarnya.

Shit—ia nyaris bergerak mengikuti komando sang suami.

Tidak boleh. Hestya tidak boleh begitu.

“Aku mau duduk,” timpalnya, lugas.

“Berdiri.” Intonasi Jusran terkesan tak berekspresi, ia bukan bermaksud ingin memerintah. “Bisa?”

Hestya tertawa, tawa sumbang yang merendahkan lawan bicaranya.

“Bukan enggak bisa. Aku enggak mau,” koreksinya.

Petuah papanya saja, Hestya senantiasa melanggar. Apalagi suami yang sesungguhnya orang asing di hidup dirinya?

Jusran bukan orang yang ingin Hestya patuhi sama sekali. Pria itu tidak berkontribusi apapun di hidup dirinya selain muncul dan seenak jidat mengklaim Hestya.

MY SHITTY HUBBYOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz