BAB - 05

2K 334 148
                                    

Bantu koreksi typo, ya.

Garis miring adalah flashback.

[ BAB 05 - ASH ]










Hestya gagal menguap lantaran tak sengaja melihat tayangan televisi yang mewawancarai Mendikbud—ia heran, kenapa wartawan seolah tidak memiliki berita kriminal untuk disiarkan dan sejak seminggu yang lalu mengundang narasumber yang sama?

Lama-lama, ia muak dengan pembahasan mengenai pendidikan yang tidak selesai-selesai.

"Tya, lihat—pak menteri berdedikasi banget, ya. Dia sebulan udah ngunjungin sepuluh provinsi. Giliran sulsel, nih ..., semoga kabupaten kita masuk list."

"Udah aku bilang, dia, tuh, mau ngabisin anggaran, doang. Capek-capek bayar pajak, dia malah blusukan enggak jelas."

"Tya—" tegur Zaynuddin.

"Udah, Tetta, enggak usah ngarep, deh. Palingan, dia milih sekolah di daerah kota Makassar. Kita, mah—tergolong kabupaten terpencil di mata dia."

"Bisa jadi, dia milih sekolah kamu. Siapa tahu kamu beruntung ketemu Mendikbud?"

Hestya tertawa kecil. "Kalau sekolah tempatku kerja kepilih, aku ngiris kuping, Tetta. Mending, dia nunjuk NusaJaya Satu. Bangunannya masih layak huni, dana bos-nya gede, siswanya banyak. Persentase dia milih NusaJaya Dua, enggak nyampe lima persen."

"Kamu ini—skeptis betul"

"Aku realistis, Tetta, di Makassar kota, sekolah udah berhamburan. Ribet ke sini, mesti melintasi gunung, hamparan sawah—salah-salah, dia ketemu monyet di jalan."

"Iya, juga, ya. Jarak dari sini ke bandara terlalu jauh. Makan waktu, palingan dia milih sekolah di kota."

"Iya, lah—yang penting di surat tugas dia, udah ada daftar provinsi sulawesi selatan. Daripada dia boros biaya akomodasi, rugi tenaga dan waktu, padahal sebatas pencitraan, mending pilih sekolah di kota."

Sebenarnya—kabupaten tempat kediaman Hestya tergolong ke dalam kategori desa. Walaupun, desa yang ia huni termasuk desa maju. Penduduk di sana rata-rata masih bekerja sebagai petani. Tetapi, tidak tertinggal fasilitas yang dibutuhkan masyarakat.

Listrik tersedia, air bersih tercukupi, internet pun tidak ketinggalan. Kendati, masih ada provider yang jaringannya belum terjangkau.

"Tya, Tetta mau tanya, kamu kenapa berasumsi si Jusran pencitraan?"

"Pertama, dia terlahir tajir—artinya sejak kecil dia hidup enak. Kedua, dia jelas-jelas ngeremehin sistem pendidikan kita dengan sekolah di sekolah swasta yang berbasis inter. Dia nginjek sekolah negeri, aja, enggak pernah. Masa bisa tahu problem yang bakal kita hadapi? Masa bisa tahu segimana alur kerja pendidikan negeri? Dia kuliah di luar, Tetta. Sama sekali enggak familiar dengan sekolah Indo. And boom! Dia diangkat jadi Mendikbud. Kalau bukan pencitraan, apalagi?"

"Bukannya turun ke sekolah-sekolah termasuk bukti dia pengen belajar tentang algoritma pendidikan negara kita? Karena dia enggak tahu, makanya dia terjun ke tkp. Seperti yang kamu bilang, dia enggak perlu sampe nekat blusukan, dia menteri—enggak butuh suara rakyat buat tetap menjabat. Misal cuma pencitraan, dia enggak usah mondar-mandir ke banyak daerah. Tiga daerah sebagai perwakilan udah cukup digoreng di media. Pindah-pindah daerah nguras tenaga tau, bikin capek. Tetta emang agak menyayangkan, latar belakang pendidikan Jusran semuanya berbasis internasional. Bukannya ini bisa jadi keuntungan? Dengan begitu, dia bisa membandingkan, kenapa pendidikan kita tertinggal, kenapa kita bisa kalah dari negara tetangga dalam segi sistem pendidikan. Ples, dia bisa mengadopsi sistem kerja sekolah inter sampai menghasilkan siswa secerdas dia di sekolah negeri. Semestinya, kita yang bersyukur—dia pintar dan dia mau bekerja serius. Toh, dia kerja bercanda pun, enggak masalah. Dia anak orang kaya yang akan tetap punya tabungan masa depan, sekalipun dia dipecat."

MY SHITTY HUBBYWhere stories live. Discover now