BAB - 02

2.1K 322 53
                                    




Bantu koreksi typo, ya.

Garis miring adalah flashback.

[ BAB 02 — Unfully  ]









Beberapa bulan sebelumnya.



“Tetta!”

Zaynuddin menggulir bola mata. “Udah, jangan banyak komplain. Berhenti cosplay kayak gadis pengangguran—jangan nyia-nyiain nama kamu di dapodik. Papa udah capek dengerin gosip jelek tentang kamu, ya, Tya. Mending, kamu kerja yang bener sesuai job kamu.”

Rahang Hestya mengeras. Bukan main, di usia ke-24 tahun—ia mengira sang papa akan mengenalkan calon suami yang dijodohkan dengannya. Ia tidak masalah. Toh, sudah jadi tradisi suku terdahulu yang tak lekang oleh waktu, menjodohkan putra-putri satu sama lain.

Apalagi di mata orang sekitar, usia di atas dua puluh tahun semisal belum menikah sudah tergolong tanda tanya besar dan aib bagi keluarga. Saking ramainya pernikahan sebelum menginjak usia legal terlaksana di kalangan keluarga darah bangsawan sepertinya.

Alih-alih dikenalkan pria bermarga yang sama—si papa justru menyodorkan SK pengangkatan dirinya sebagai Wakil Kepala Sekolah.

Hestya bersumpah ia tidak sudi! Cuy! Ia memang tak memiliki etika yang baik—tetapi, ia tipikal manusia tahu diri. Setidaknya, jangan mencuri slot siapapun.

Bayangkan perasaan guru-guru yang ada di sekolah—mengapa guru status honorer yang bahkan sangat jarang hadir di sekolah diangkat menjadi wakil?

Orang-orang pun tahu, Hestya berhasil masuk ke dapodik semata-mata karena papanya bersahabat dengan kepala sekolah. Jangan lupakan jabatan sang papa; K.A Dinas Pendidikan Kabupaten.

She's nepo-baby, yang serba digendong oleh 'kuasa' orangtua. Sangat rentan dirujak tetangga.

Apa tidak makin merajalela gunjingan yang diterima Hestya? Iya, bagus kalau sekolah swasta. Sedangkan tempatnya mengabdi adalah sekolah negeri. Walau, murid di sana hanya berkisar seratusan siswa.

Jalur karirnya terlampau mulus tanpa kendala.

“Tenang, Tetta pastikan kamu enggak diapa-apain sama guru-guru. Santai, Tya. Everything gonna be okay.”

Beruntung Hestya tidak keceplosan mengumpat di depan sang papa. Ujaran papanya teramat naif.

“Emang siapa yang berani gangguin anak tunggal Kadis? Tetta, natap aku, aja, mereka ketar-ketir.'

“Nah, itu tau, no one can touch you—intinya, Tetta mau kamu punya peran penting, Tya. Kamu udah cukup diremehin, minimal kamu enggak bikin keluarga besar kita malu. Apa permintaan Tetta susah?

Hestya bungkam, selama ini—orangtuanya tidak menuntut timbal-balik apapun atas apa yang diberi padanya.

“Tetta sering dikatain sama saudara, Tya. Katanya Tetta terpelajar, tapi mendidik anak sendiri gagal.”

Hestya menghela, di antara saudara-saudara papa dan mamanya—hanya sang papa dan mama yang punya pekerjaan tetap sebagai pns. Sisanya, lebih dominan berfokus ke empang dengan menambak ikan bandeng, pula mengelola sawah. Kebanyakan tak terlalu mengedepankan pendidikan. Kenalannya rata-rata sebatas mengenyam pendidikan di bangku SMA.

“Tetta malu sama aku?”

“Honestly, iya, Tya—hidup kamu gitu-gitu terus. Mau ditaruh di mana muka Tetta sebagai Kadis? Anaknya satu, kerjaannya di rumah terus. Magister kamu ..., gunanya apa?”

MY SHITTY HUBBYWhere stories live. Discover now