BAB - 06

1.5K 316 73
                                    

Bantu koreksi typo, ya.

Garis miring adalah flashback.

[ BAB 06 - NOT NOW ]














Makassar, 19.45 WITA—Esoknya.









Hestya akui, perlakuan Jusran kepada kedua orang tuanya mungkin akan mengubah pandangannya tentang segala asumsi jelek mengenai lelaki itu. Selain pintar berkomunikasi, Jusran juga teramat menghargai papa dan mama. Walaupun, Hestya tahu ada kemungkinan besar sang suami sebatas berkamuflase semata.

Pria tersebut bahkan tidak sungkan ikut ke dapur untuk membantu mamanya memasak. Kalaupun sekadar bersandiwara—Hestya berkesimpulan Jusran tidak usah bertindak sejauh itu. Toh, Jusran bisa melihat di daerah mereka, masih cukup kental dengan patriarki. Jangankan di sekeliling, keluarga besar mereka saja—jiwa patriarki para laki-lakinya benar-benar mendarah daging.

"Tya, ayo makan malam—saya masak sendiri ikan pallu cella-nya."

"Pallu ce'lla, Nak," koreksi Risna, membenahi kata Jusran yang kurang tepat.

Aksen Jusran terdengar sumbang ketika menyebut makanan khas daerah mereka. Pallu ce'lla sendiri merupakan olahan ikan yang dimasak memakai rempa kunyit dan garam. Memang sederhana, tetapi ia tidak sepatutnya menyepelekan kerja keras Jusran.

"Oh—oke," balas Hestya, ia menarik kursi kayu.

Materil rumah Hestya didominasi kayu. Rumahnya berbentuk rumah satu tingkat yang berbahan utama kayu jati—dilapisi warna cat vernish, yang beberapa tepiannya diukir bergelombang, mirip debaran ombak laut. Meski berbahan dasar kayu—design rumah Hestya begitu elegan, mewah dan unik. Apalagi seluruh furniture-nya menggunakan barang elektronik ternama. Menandakan bahwa Hestya bukan dari golongan masyarakat menengah ke bawah.

"Oke? Tya, yakin cuma oke?" tanya Jusran, dirinya dihadiahi senyum simpul sang mama mertua.

"Terus?"

"Minimal, suamimu dipuji, Hestya," tutur Risna.

Hestya bangkit, "Aku mau manggil tetta, tetta di kamar, 'kan?" Tak mengindahkan ucapan mama.

"Enggak, Nak, tetta lagi pergi ke acara persiapan barasanji di lorong sebelah. Mama mau nyusul—Mama takutnya kamu ngebiarin suami kamu kelaperan. Alhasil, Mama siapin makan malem dulu sebelum ke sana."

Risna menata piring ke berisi bermacam-macam lauk ke meja. Pantasan pakaian dan make-up sang mama cetar membahana—rupanya berencana bertandang ke rumah tetangga.

"Aku ..., aku mau ikut," kata Hestya, bergerak gesit mendekati Risna.

"Ke rumahnya pak haji Jalimuddin? Tumben—"

Risna mengerutkan kening. Agak heran dengan si tunggal. Bukan apa-apa, saking magernya pergi ke pesta keluarga, Hestya selalu beralasan supaya tak ikut ke acara. Berdalih sakit perut, lah, vertigo, lah, diare, lah—yang terpenting tidak bertemu orang lain. Setiap keluarga mereka datang, Hestya wajib dipanggil baru beranjak dari kamar.

Risna sempat mengira, Hestya sudah diam-diam akad-nikah dengan ranjang—sampai-sampai ia terobsesi dan enggan meninggalkan tempat tidur.

"Jangan, kamu temenin suamimu. Giliran kamu udah nikah—masa mau keliyuran?"

Hestya melirik Jusran. Cihpadahal karena Jusran ia berniat pergi.

"Iya, Tya. Tya, di sini bareng saya, ya?"

MY SHITTY HUBBYWhere stories live. Discover now