prolog

99 16 6
                                    

Baju terakhir sudah masuk ke dalam lemari, sedikit reyot dan vernis-nya juga agak luntur. Ada karat di engsel pintunya sehingga memaksaku menutup pelan-pelan agar tak menimbulkan suara yang berisik.

Sudah hampir tengah malam, tetapi aku tidak bisa terlelap meski merasa lelah setelah perjalanan panjang. Aku bahkan tidak tahu di mana ini, ayah bilang ini rumah lamanya dulu sebelum menikah dengan ibu. Jauh di dalam hatiku masih berharap agar ibu juga mau ikut, tetapi beliau tak ingin bersama kami lagi.

Aku tak bisa tidur, karena masih merasa harus berbicara dengan ayah. Ini saatnya, seharusnya. Senyap, dan tenang. Sungguh momen yang tepat. Ayah di ruang tamu, hanya berdiri diam di balik teralis jendela. Tadi ayah juga sudah menyuruhku untuk tidur setelah merapikan koper.

Kubuka pelan-pelan pintu kamar agar dapat mengintip. Ayah masih di sana, sepertinya belum bergerak selama dua puluh menit. Mungkin malah sudah tidur duluan, tetapi begitu aku mendekat, kepala ayah terangkat sedikit.

"Kenapa belum tidur?" Ayah sama sekali tak berbalik. Suaranya sangat lemah. Dia pasti kelelahan juga setelah perjalanan panjang ini.

Kacamataku terasa berembun saja. "Aku ...." Aku ingin ngobrol sama ayah. Seharusnya kukatakan itu, tetapi bagai sesuatu baru saja memasuki kepalaku lalu mengacak-acak isinya. Aku jadi tak tahu harus mengatakan apa. Sungguh, aku kebingungan.

Lebih tepatnya ketakutan. Karena aku tahu pasti apa yang ayah pikirkan sekarang.

"Aku ... mau ngucapin selamat malam." Kemudian hanya itu yang terlontar. Kalimat paling payah dan aneh yang pernah kukatakan seumur hidupku. Tak pernah sekalipun kukatakan itu sampai hari ini, dan kalau misalnya ini adalah hari-hari biasa mungkin kami akan tertawa.

Sayangnya hari ini berbeda, dan tak akan ada tawa lagi. Ayah hanya mengangguk. "Ya ... kamu tidur yang nyenyak." Dia masih belum mau berbalik untuk menatapku, padahal aku penasaran betul melihat wajahnya saat ini.

Mungkin ayah marah, atau sedih, atau kecewa, atau ketiganya, atau apapun yang lain. Kalau memang tidak bisa ngobrol, setidaknya kami bisa bertatapan saja dulu. Aku ingin melihatnya. Aku ingin melihat sorot mata itu yang sudah dapat dipastikan kalau dia sedang membenciku, tetapi aku sungguh ingin melihatnya.

Tak ada yang terjadi. Aku beringsut kembali ke kamar, dan berbaring di atas ranjang tanpa bantal. Hanya ada selimut, dan kugunakan untuk membungkus seluruh tubuhku.

Mataku masih belum bisa menutup, malam ini akan sangat panjang, aku—dan mungkin ayah—tidak akan menikmatinya.

anti-tesisOù les histoires vivent. Découvrez maintenant